Saat ditawari menjadi pemain di salah satu omnibus film Kita
versus Korupsi (KvsK), Teuku Rifnu diberitahu bahwa tema film tentang korupsi.
Dan dananya pun terbatas. Namun Teuku bersikukuh menerima tawaran tersebut,
dengan pertimbangan melalui film KvsK ada sesuatu yang ingin disampaikan ke
masyarakat.
“Di sini ada hal lain, karena kita berbuat sesuatu. Itu yang
membuat saya tertarik dan mau terlibat,”kata Teuku saat ditemui Amin Shabana di
sela-sela roadshow KvsK di Balikpapan, Jumat (11/5) hingga Minggu (13/5) lalu.
Bersama sutradara dan pemain film KvsK lainnya, pemeran Pak
Lurah dalam film “Rumah Perkara” karya sutradara Emil Herasi ini pun rela keliling
beberapa kota di Indonesia untuk memperkenalkan film KvsK langsung ke
masyarakat.
Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana ceritanya bisa terlibat dalam film KvsK?
Awalnya sutradaranya (Emil Herasi-red) nyamperin saya dan
ngobrol ingin membuat film yang temanya tentang korupsi, diangkat dari
persoalan sehari-hari yang terlupakan di masyarakat kita. Karena selama ini
orang-orang selalu menyalahkan bahwa pelaku korupsi itu adalah orang-orang yang
di atas sana, anggota DPR, Presiden dan macam-macam. Artinya mereka itu memang
sudah jelas pelakunya. Yang harus dilakukan sekarang ini adalah dari rumah,
internal kita yang harus kita pikirkan.
Pada saat itu saya diberitahu siapa saja pemainnya dan
dananya yang tidak banyak. Dan saya juga ditanya apakah mau berjuang
bersama-sama karena ada yang ingin disampaikan. Akhirnya saya mau mengambil
karena ceritanya yang berbeda. Di sini ada hal lain, karena kita berbuat
sesuatu. Itu yang membuat saya tertarik dan mau terlibat.
Dari segi cerita, pesan apa yang ingin disampaikan film
Rumah Perkara ke publik?
Di film ini, judulnya saja sudah Rumah Perkara itu sudah
merupakan kesimpulan atau benang merah dari ceritanya. Bahwa semua diawali dari
rumah, kebohongan sehari-hari yang kita lakukan kepada istri kita kemudian
kepada anak kita maka akan membuat anak kita berbohong kepada ibunya dan
berbohong kepada bapaknya serta lingkungannya. Diawali berbohong dirumahnya, si
tokoh Lurah ini kemudian berbohong kepada masyarakatnya dengan janji-janji
palsu bahwa dia akan menyelamatkan masyarakatnya. Dia merasa semua yang
diucapkan merupakan kebenaran yang terpola. Maka kesananya akan terjadi
kehancuran, kebohongan-kebohongan baru. Itu sebenarnya yang ingin disampaikan.
Menurut Anda, apakah konteksnya sama dengan yang terjadi di
Indonesia saat ini? Seperti pejabat yang mengingkari janjinya kepada
masyarakat?
Ya, itu sesuai banget. Di seluruh wilayah Indonesia sedang
terjadi seperti itu. Mungkin ini disebabkan kita tidak pernah diajarkan
benar-salah, tapi kita diajarkan pada hukuman. Dari kecil memang metode dalam
mengajarkan anak yang benar yang harus dipikirkan. Anak-anak itu diajarkan
dengan memberikan mereka hukuman, bukan menjelaskan bahwa tindakan mereka itu
salah atau benar. Itulah cikal-bakalnya, sehingga mereka hanya melihat pada
hukumannya saja. Dan karena tahu
bagaimana hukum disini bekerja, jadi para pemimpin itu tidak takut untuk
melanggarnya. Sehingga aspek benar atau salah tidak lagi ketahui.
Sebagai sebuah film kampanye, apa perbedaan film KvsK
dengan film kampanye lainnya?
Saya belum pernah melihat film-film kampanye yang lain. Yang
jelas disini, sebagai pemain saya melihatnya bahwa ini mungkin sama saja dengan
film-film di Iran, Eropa atau Perancis yang memproduksi film dengan muatan
seperti ini. Cuma kendalanya di Indonesia, industri kita lebih menargetkan
kepada jumlah penonton sebanyak-banyaknya. Akhirnya tidak tahu bahwa pendidikan
di masyarakat itu seprti ini dan tidak adanya asosiasi di dunia yang dijalani.
Jadi tidak dilihat oleh masyarakat kerja yang dilakukan oleh orang film
ini.
Nah, dalam film ini kan jelas kita yang mendatangi penonton.
Bahwa keberadaan pemain dan crew film bertujuan untuk menjelaskan bahwa ada
banyak film-film yang bagus. Dan pemain-pemain yang dipilih dalam film KvsK ini
juga merupakan pemain-pemain yang berkarakter dan “actor” semuanya. Dikarenakan
muatannya berbeda dengan film lain, maka kita berpikir untuk terlibat dalam
produksi film ini. Siapatahu dengan kesuksesan film KvsK ini walaupun tidak
merubah secara serentak, psikologi masyarakat berubah secara perlahan ke arah
yang kita inginkan sebagai seorang pemain.
Dan saya juga menginginkan agar penonton mengetahui bahwa
film yang baik itu adalah seperti ini. Sejauh ini penonton yang di daerah hanya
mengetahui film yang bagus adalah yang disinetron atau film horor yang ada
tokoh yang membunuh habis-habisan. Film-film jenis ini pun semestinya tetap
ada, untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga biar
masyarakat yang memilih. Tapi pilihan
itu tidak akan terjadi bila masyarakat tidak diberikan alternatif lain. Seperti
yang di Yogya, banyak yang bilang merasa malu datang ke bioskop dan itu karena
ada rasa tidak percaya diri yang jadi penyebab. Dengan adanya film ini, hal-hal
tersebut mulai berubah.
Dari segi pesan film, apa yang Anda temukan selama mengikuti
roadshow KvsK?
Luar biasa. Saya datang ke Solo ke suatu daerah yang mau
digusur, kalau ngga salah namanya Semanggi. Disitu juga diadakan pentas
Ketoprak. Semua masyarakat disitu keadaannya sedang cemas ketika kita
mengadakan pemutaran KvsK. Awalnya sebelum memutar film itu, emosi mereka
meluap-luap. Dan setelah film selesai ditonton, saya menyampaikan bahwa di
Indonesia bukan daerah ini saja yang terjadi seperti ini. Artinya yang harus
dilakukan adalah kita cari tahu dulu kebenarannya. Tapi emosi mereka memang
tidak bisa dibendung dan mereka bersyukur sekali ada pihak luar yang men-support.
Karena ceritanya sama dengan apa yang sedang mereka alami.
Kemudian ada Bupati Boyolali ketika menonton film ini dia
menangis, dia merasa bahwa dia bersyukur sekali berada di antara kita supaya
masyarakat Indonesia mengetahui keadaan kita seperti ini. Dia menangis saat itu.
Dia berharap film ini diputar didaerahnya. Terus ada yang meminta film ini
diputar di pasar-pasar. Tetapi ada juga yang mengkritik film ini yang meminta
seharusnya film ini memberikan jalan penyelesaiannya dan hukuman bagi
pelaku-pelaku dalam film. Dan ini menarik sekali.
Pada akhirnya ketika saya
bertanya kepada penonton, yang biasanya hanya bilang keren tapi di sini mereka
menyatakan seperti ditegur. Jadi jawabannya beda dan itu yang dia bawa pulang.
Dan itu yang membuat saya bersyukur terlibat dalam film ini. (Amin Shabana/RSD)
0 komentar:
Posting Komentar