Senin, 30 April 2012

Deklarasi Anti Korupsi di Solo Car Free Day





Kasus korupsi di Indonesia yang semakin marak memunculkan berbagai kepedulian di kalangan masyarakat, salah satunya kalangan pemuda dengan cara sosialisasi anti korupsi di kawasan Solo Car Free Day (SCFD), Minggu (29/4).

Ketua DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Solo Her Suprabu menjelaskan sosialisasi yang diselenggarakan di SCFD ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi. “Kami bekerja sama dengan tim Kita Vs Korupsi mengadakan roadshow ke 19 kota di seluruh Indonesia,” jelasnya ketika ditemui solopos.com.

Dalam sosialisasi tersebut, terdapat berbagai aksi yang melibatkan pemuda di Solo, antara lain aksi teatrikal, penandatanganan kain sebagai bentuk dukungan terhadap pemberantasan korupsi dan penyebaran brosur kampanye antikorupsi untuk masyarakat.

Pada aksi teatrikal, tampak hadir Wakil Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo, ikut berpartisipasi menandatangani dan melakukan aksi teatrikal menyapu kertas yang bertuliskan berbagai macam kegiatan korupsi dan memasukannya ke dalam tempat sampah. Aksi tersebut sebagai visualisasi Indonesia harus dibersihkan dari segala bentuk dan tindak korupsi.

Sumber: Solopos.com

Sabtu, 28 April 2012

Dilema Anak Muda di Tengah Wabah Korupsi




Papan bertuliskan “Plagiasi = Korupsi” itu sudah terpampang di dekat pintu masuk gedung Perpustakaan Universitas Muhammdiyah Surakarta (UMS) sejak beberapa bulan lalu. Korupsi, kata itu memang sudah begitu populer di mata mahasiswa di manapun sebagai perbuatan yang buruk. Di sini, kata itu dipakai dengan harapan agar mereka yang berniat menjiplak karya ilmiah orang lain akan berpikir dua kali sebelum melakukannya.

Tujuannya kampanye itu sudah jelas, yaitu untuk mencegah perbuatan tidak terpuji dalam dunia akademik. Ibarat tak ada asap jika tak ada api, ada latar belakang di balik kampanye itu. Para mahasiswa pun mengakui bahwa budaya plagiasi dan turunannya seperti menyontek atau membeli karya orang lain masih ada di sekitar mereka.

“Misalnya di tempat saya ada tugas desain. Ada mahasiswa yang rela membayar sejumlah uang agar tugasnya bisa cepat selesai,” ungkap Nanto, salah seorang mahasiswa Teknik Mesin UMS akhir pekan lalu.

Itu baru salah satu contoh dari berbagai model “korupsi” ala mahasiswa di dalam kampus. Ada berbagai macam cara instan yang bisa dilakukan demi mendapatkan nilai bagus termasuk cara yang paling sederhana, yaitu menyontek saat ujian.

“Kalau menyontek itu masih banyak, belum lama ini di Facebook sempat ramai ada mahasiswa yang ketahuan tertangkap nyontek saat ujian,” kata Nuryanto, mahasiswa Teknik Elektro UMS. Padahal, lanjutnya, kalau sudah beberapa kali tertangkap hukumannya bisa drop out alias DO.

Pihak kampus memang terus berusaha melakukan berbagai upaya untuk mencegahnya. Mulai dari pengawasan dalam ujian sampai publikasi judul skripsi secara online. Meskipun ada hukuman berat jika ketahuan, ada saja usaha yang dilakukan agar bisa melakukan praktik-praktik tersebut. Apalagi jika ada fasilitas atau orang yang bisa membantu menggarap berbagai tugas kuliah atau skripsi. Di sekitar kampus, masih ada orang yang menawarkan jasa pembuatan skripsi dengan biaya tertentu.

Memang ada saja mahasiswa yang masih membutuhkan jasa ini. Bahkan mereka akan mencari-cari orang yang mau mengerjakan skripsi atau tugas karena kebanyakan jasa ini hanya diketahui dari mulut ke mulut. Ada banyak tugas yang bisa diproyekkan di luar skripsi, mulai tugas membuat paper, makalah atau laporan praktikum. “Pernah ada teman saya dari fakultas lain yang tanya-tanya, ‘ada enggak yang bisa bantu bikin skripsi?’ saya bilang tidak tahu karena memang tidak pernah memakainya,” kata Fitri Mukti, mahasiswi Pendidikan Fisika Universitas Sebelas Maret (UNS).

Menurut Fitri, jasa-jasa pembuatan skripsi itu memang masih ada di sekitar kampusnya dan masih ada pula yang mencarinya. Tapi memang hanya orang-orang tertentu saja yang mau menggunakan jasa itu. Selain butuh biaya mahal, risikonya juga besar jika sampai ketahuan oleh pembimbing atau penguji. Fitri sendiri enggan melakukannya dan begitu pula dengan rekan-rekannya satu jurusan.

“Saya sih tidak pernah datang ke sana, tapi di belakang kampus saya pernah lihat juga ada papan bertuliskan jasa konsultasi skripsi,” lanjut Fitri yang kini sedang mengerjakan skripsi. “Kalau di jurusan saya, saya yakin tidak ada yang melakukannya.”

Masih Ada yang Idealis

Memang tak semua mahasiswa mau melakukan hal-hal instan demi mendapatkan nilai yang bagus. Beberapa mahasiswa dengan tegas menolak menggunakan tangan orang lain dalam menyelesaikan skripsi atau tugas akhirnya. Selain karena idealisme, hal ini juga karena aturan ketat dan budaya yang ditanamkan di lingkungan kampus.

“Saya tidak pernah mau seperti itu, saya juga yakin teman-teman di FKIP juga tidak ada yang mau melakukannya,” kata Lia Fatmawati, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Seni (PBS) UNS.

Lia yang baru saja menyelesaikan skripsinya mengatakan para dosen telah menegaskan agar seluruh proses pembuatan skripsi dilakukan sendiri sejak awal. Mulai dari pemilihan judul sampai laporan jadi semuanya harus bisa dipertanggungjawabkan sendiri. “Intinya kita harus bisa mempertanggungjawabkan tugas kita sendiri.” Lanjut mahasiswi angkatan 2008 ini. “Saat pendadaran pun tidak ada kebiasaan ngasih sesuatu buat pembimbing atau penguji.”

Di luar kampus, tidak semua pemilik jasa pengetikan atau rental komputer mau menerima permintaan pengerjaan tugas atau skripsi. Selain risikonya yang cukup besar, hal itu juga bisa mencoreng nama pemilik usaha.

“Sering ada mahasiswa yang datang ke sini minta bantuan mengerjakan tugas, tapi saya tidak mau kalau sampai mengerjakan laporannya. Kalau cuma olah data SPSS sih tidak masalah, tapi kalau sampai minta dibikinkan, lebih baik saya kasih tau caranya saja,” kata Lilik, seorang pemilik jasa studio dan desain di belakang Kampus I UMS.

Ia mengaku heran, mahasiswa sekarang banyak yang sudah punya laptop sendiri, tapi jasa pengetikan masih saja ramai.

Jadi, bagaimana menurut Anda?

Sumber: Solopos

Kamis, 26 April 2012

Abraham Samad Ajak Masyarakat Sebarkan Virus Anti Korupsi






Praktek korupsi di Indonesia sudah sangat masif. Bagaikan virus, wabah korupsi menyebar ke seluruh elemen masyarakat. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengajak masyarakat untuk melawan wabah korupsi yang sedemikian besar ini. “Untuk melawannya, kita juga harus menyebarkan virus anti korupsi,” kata Abraham dalam diskusi usai pemutaran film Kita versus Korupsi (KvsK) di Pusat Kebudayaan @america, Pasific Place, Jakarta, Rabu (25/4). 

Acara ini diselenggarakan oleh Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) dan dihadiri 215 penonton diantaranya mahasiswa, perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi kepemudaan, media dan masyarakat umum. 

Selain Abraham, diskusi yang dipandu oleh aktivis demokrasi Fajroel Rahman ini menghadirkan nara sumber Sekretaris Jenderal (Sekjen) Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki, sutradara Ine Febriyanti, dan pemain film Medina Kamil.

Menurut Abraham, film merupakan salah satu media efektif untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas. “Film memiliki pesan kuat dan mudah dicerna. Film ini wajib disebarkan ke seluruh elemen masyarakat,” ujarnya. 

Ia berharap generasi muda di masa datang tidak lagi mengenal korupsi.

Dalam kesempatan ini Teten juga mengakui dampak positif film. Meskipun sudah 13 tahun sejak dirinya menjadi Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) telah mengajak masyarakat melawan korupsi. Namun baru melalui film dampaknya besar. Menurut Teten, film KvsK sampai kini sudah ditonton sekitar 16.000 orang dari berbagai kalangan masyarakat. 

“Dan kami akan terus melakukan roadshow ke berbagai kota di Indonesia,”jelasnya.

Sementara Ine lebih menyorot korupsi dari segi pengalaman pribadi. Ia mengaku sudah muak dan bahkan apatis dengan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sampai-sampai perempuan kelahiran Semarang, 18 Februari 1976 ini langsung mematikan televisi jika ada berita korupsi yang sedang ditayangkan. 

Ine terkejut ketika dirinya mendapat tawaran untuk menjadi salah satu sutradara film KvsK. “Surprise dan bingung karena harus mulai dari mana karena saya udah males banget sama korupsi,”ungkapnya.

Namun Ine menggunakan kesempatan tersebut sebagai pemicu pembuatan film. Melalui kisah nyata yang terjadi di keluarganya, Ine berhasil mengangkat film berjudul Selamat Siang Risa. “Saya gunakan kebencian saya sebagai bahan bakar untuk membuat film melawan korupsi,”kata Ine. (RSD)

Peran Perempuan Melawan Korupsi



Kaum perempuan memiliki peran strategis dalam hal pencegahan dan pemberantasan korupsi. Melalui peran sebagai seorang ibu yang mengajarkan nilai-nilai kejujuran di dalam keluarga, diharapkan menjadi titik awal pembelajaran bagi generasi mendatang.


Demikian terangkum dalam Pemutaran dan Diskusi film Kita versus Korupsi (KvsK) oleh Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP) dan Bogor Internasional Club (BIC) di Cinema XXI, Botani Square, Bogor, Rabu (25/4). Sebanyak 156 penonton hadir dalam acara yang merupakan rangkaian peringatan Hari Kartini ini.

Pendiri BIC dan sekaligus Anggota Badan Pembina GPSP Sophie Sarwono mengatakan, sudah saatnya perempuan lebih kritis dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di negeri ini. Perempuan harus mampu mengajak masyarakat untuk mendorong perlawanan perempuan dalam pemberantasan korupsi. “Korupsi bisa terjadi diantara kita, maka untuk melawan korupsi harus dari kita sendiri,”jelasnya.

Bagi Ketua BIC Yudy Mugijanto, korupsi itu melakukan sesuatu yang tidak pada relnya. “Setelah saya menonton film ini, ternyata korupsi itu bisa dicegah dari diri sendiri, dan pencegahan itu diawali dari keluarga,”ujarnya. 

Hampir semua adegan menyentuh, terutama flash back, keadaan sekarang,  jadi menceritakan bagaimana seorang anak setelah besarnya yang ayahnya melakukan korupsi. Yudy yakin perempuan Indonesia mampu melawan korupsi. “Caranya mudah kok, cukup dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran di dalam keluarga,”ungkapnya.

Makna Film

Fungsional Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Aldi menjelaskan melalui pemutaran film KvsK, penonton dapat mengambil nilai-nilai anti korupsi yang tercermin dalam kisah-kisah di film.

Seperti diungkapkan Rita Yulisa, salah satu penonton yang terkesan film KsvK. “Film ini sangat bagus. Ada adegan mengharukan, saat Tora Sudiro dalam dilema, yaitu anaknya sakit dan membutuhkan uang untuk berobat, di satu sisi godaan datang dan uang sudah di depan mata. Tetapi karena tekadnya kuat dan tahu itu korupsi dia tolak,”jelasnya.

Ada makna yang ia dapatkan setelah menonton film ini bahwa korupsi itu harus benar-benar diberantas dari hal yang paling kecil, yaitu keluarga.

Kepala Inspektorat Kota Bogor Eko Prabowo berpendapat, film KvsK sangat bagus sebagai proses pembelajaran dan proses sosialisasi bagi semua kalangan, khususnya anak-anak atau generasi masa depan. “Film ini sangat luar biasa lah, dan adengan yang ada adalah semua realita. Di dalamnya ada perizinan, kehidupan keluarga, saat kita sakit dan tidak punya uang dan kita harus mengambil keputusan, tapi kejujuran paling utama. Makna dari film ini, ya kejujuran yang paling utama, serta suri tauladan orang tua,”paparnya.

Pengurus GPSP Endang Dungga berharap gerakan perempuan mencegah korupsi harus terus digulirkan dan harus menjadi lebih besar. “Kami berharap para undangan yang hadir tidak hanya berhenti pada menonton film ini,”tandasnya. (TL/RSD)

Selasa, 24 April 2012

Sesuatu yang Besar Berawal dari Sesuatu yang Kecil


Oleh: Bellanissa Brilia Zoditama, mahasiswi Telkom Institute of Management Bandung.



Hari Kamis kemarin, 12 April 2012 saya diberi kesempatan untuk menonton langsung sebuah film yang berjudul “Kita vs Korupsi” di XXI Empire, Bandung Indah Plaza.

Film Kita Vs Korupsi adalah sebuah film yang terdiri dari 4 cerita dan 4 sutradara. Durasi film ini ‘hanya’ 70 menit, terlalu singkat untuk film yang diputar di bioskop, dan menelan dana 1,2 M, termasuk murah dengan pembuatan film yang biasanya menghabiskan sampai 5 M. Padahal pemain dan pengisi musiknya adalah orang-orang yang terkenal di negeri ini. Sebut saja, Nicholas Saputra, Revalina S. Temat, Ringgo Agus, Efek Rumah Kaca, dan The Flowers.

Bila kebanyakan film adalah sebuah fiksi yang difilmkan, film ini adalah sebuah refleksi nyata yang ada di negeri kita, tentang Korupsi. Siapa sih yang gak tau tentang korupsi? Jadi mari baca review saya tentang film ini. Tapi sebelumnya saya minta maaf karena saya lupa sama setiap judul cerita.

Cerita pertama: tentang seorang kepala desa dengan seorang delevoper.

Cerita tentang kepala desa ini melakukan sebuah ‘kerja sama’ dengan seorang developer perumahan untuk membangun sebuah real estate di desanya itu. Dengan iming-iming tentu saja. Semua penduduk di desa itu disuruh pergi meninggalkan desa, dan hanya tersisa seorang janda yang masih menetap di sana.
Akhirnya karena bingung mengusir janda itu, bawahan-bawahan sang developer melakukan cara tercepat dan termudah dengan membakar rumah sang janda, padahal janda itu sedang berada di dalam rumah. Hal yang paling miris terjadi di akhir film, dimana anak dari kepala desa pergi ke rumah janda itu untuk mencari ayahnya, dan dia juga ikut terbakar disana.

Cerita kedua: tentang seorang muda-mudi yang ingin kawin lari.

Cerita seorang muda-mudi (Nicholas Saputra dan Revalina S. Temat) ingin menikah diam-diam. Ketika mereka sampe KUA, mereka nggak bisa langsung menikah karena surat kesahannya nggak lengkap. Si cowok mengusulkan untuk menempuh jalan pintas, dengan pake calo supaya mereka menjadi sah sebagai suami-istri. namun cewek itu nggak mau karena itu termasuk salah satu tindak yang dekat dengan korupsi yaitu nepotisme, dan dia sangat anti yang namanya korupsi, karena Ayahnya adalah seorang pegawai negeri yang sempat melakukan korupsi sertifikasi guru. Salah seorang guru yang ditangani sertifikasi oleh Ayah cewek tersebut adalah guru sekolahnya. Namun guru itu yang masih berstatus sebagai guru honorer, tidak memberikan ‘uang pelicin’ sehingga dia tidak menjadi guru tetap dan akhirnya keluar dari sekolah itu dan meninggal dunia.

Guru tersebut, yang diperankan oleh Ringgo, berpesan bahwa “Kamu adalah cerminan dari rumahmu…”
Jadi kalau kamu sudah melakukan kebohongan di rumah, akan berdampak pada hal-hal yang lain di sekitarnya.

Cerita ketiga: tentang seorang pegawai yang akan disuap.

Cerita ini hampir mirip dengan cerita pertama, namun setting tempatnya berada di Jakarta, dan tokoh utamanya adalah seorang perempuan. Seperti cerita pertama, seperti ada seorang developer yang ingin melakukan kerjasama dengan perusahaan tempat perempuan itu bekerja, dan akan ada timbal-balik uang kalau proyek itu berhasil.

Namun, sebelum perempuan itu mengiyakan, dia teringat tentang masa lalunya, tentang Ayahnya, yang seorang pegawai yang jujur. Di cerita ini kita kembali dibawa ke taun 80/90-an di era zaman Soeharto dan semuanya serba terbatas. Saat itu, sedang terjadi krisis beras, dan ada seorang pengulak yang ingin menimbun beras di gudang milik ayah si perempuan.

Sang Ayah menolak mesti diiming-imingi uang banyak, karena dia konsisten dengan kerjanya. Padahal kondisi kehidupan mereka juga sedang pas-pasan.

Kembali ke masa sekarang, di akhir cerita si perempuan mengatakan, “Maaf saya tidak bisa.”

Cerita keempat: tentang Anak SMA

Dari keempat cerita di film ini, cerita keempat adalah cerita yang paling segar sekali karena selain bercerita tentang kehidupan SMA, cerita ini dekat sekali dengan kisah saya semasa SMA. Hahaha…

Cerita utama terletak pada Olla yang sedang direkam kegiatannya oleh Gita yang baru membeli handycam baru. Ketika di kantin Olla bertemu dengan Echi yang sepertinya bendahara kelas yang sedang mengumpulkan uang buku yang dijual oleh salah satu guru. Lalu dari situ, tersebar bahwa ada korupsi di lingkungan sekolah antara oknum guru tersebut, Echi dan juga Olla. Ini cerita yang bisa membuat saya tertawa, karena memang pas dan nyata sekali.

Bagi yang pernah menonton Jakarta Magrib, tentu tidak akan merasa asing dengan konsep cerita yang berbeda dalam satu film. Namun perbedaannya, di film ini tidak ada kaitan antara cerita yang satu dengan cerita yang lain seperti Jakarta Magrib.

Kalau dari skala 1-5, saya memberikan nilai 4.5 karena meski ceritanya bagus tapi cenderung masih terlihat mentah, dan terlalu terburu-buru. Dari film ini, saya dapat menarik pelajaran bahwa korupsi adalah sesuatu yang dekat dengan kita seperti hidung dan mulut, atau nadi dengan jantung. Dan sadar ataupun tidak sadar, kita juga sering melakukannya. Coba siapa yang sering naikin uang buku pas sekolah dulu?! Ayo ngaku…

Saya harap banyak menonton film ini, terutama para pejabat yang berdasi dan berjas itu, supaya mereka sadar bahwa korupsi adalah perbuatan yang tercela sekali.

Ada satu kata-kata yang masih saya ingat sampai sekarang,
“Sesuatu yang besar berawal dari sesuatu yang kecil…"

Sumber: Briliaz

Senin, 23 April 2012

Para Santri di Garut Nobar KvsK





Sekitar 332 santri dan masyarakat di sekitar Pondok Pesantren (Ponpes) Al Musadaddiah, Jalan Mayor Samsu No. 2, Cimanuk, Tarogong, Garut, nobar film Kita versus Korupsi (KvsK), Sabtu (21/4). Pemutaran film KvsK ini merupakan inisiatif Ketua Yayasan Al Ma'soem H. Nanang Ma'soem dalam upayanya mendukung gerakan anti korupsi. Hadir pula dalam acara ini mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto dan Sekretaris Jenderal Transparency International (TI) Indonesia Teten Masduki.

Dalam sambutannya, Nanang mengatakan bahwa melawan korupsi tidak perlu ribet, tapi bisa dilakukan dengan cara sederhana sebagaimana tergambar dalam film KvsK. Ia menjelaskan, film KvsK diproduksi dengan biaya murah, yaitu sekitar Rp 1 milyar dan para sutradara dan pemain film bersedia dibayar non komersial. “Film ini atas inisiatif TI Indonesia yang kebetulan dipimpin oleh Teten Masduki, putra asli Garut,”ungkap Nanang.

Menurut Teten, film KvsK sengaja dibuat untuk merubah pola fikir masyarakat yang sudah menganggap wajar pada praktek korupsi yang terjadi di masyarakat. Misalnya menyuap polisi ketika di tilang atau ‘nyogok’ petugas saat pembuatan KTP, dan sebagainya.

Sementara itu Endriartono menyatakan, film KvsK merupakan gambaran yang terjadi di masyarakat. Di satu sisi ia prihatin dengan kondisi seperti ini, namun di sisi lain percaya bahwa bangsa Indonesia akan jauh lebih baik jika ada perubahan paradigma dalam berfikir. Menurut Endriartono, pemberantasan korupsi bukan hanya dilakukan oleh aktivis antikorupsi dan aparat penegak hukum. 

“Kita sebagai masyarakat juga mampu mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Saya percaya kalau masyarakat semakin kritis dan sadar, Indonesia pasti berubah,”tandasnya. (TL/RSD)

Menjaga Integritas dari Hal-hal Kecil






Program pemutaran film Kita versus Korupsi (KvsK) bagi karyawan PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) terus berlanjut. Setelah Jakarta, Yogyakarta, Medan, dan Suralaya, giliran karyawan PT. PLN Distribusi Jawa Barat – Banten nobar KvsK di BSM XXI Bandung Supermall, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Bandung, Sabtu (21/4).


Acara dimulai pukul 09.30 dan dihadiri sekitar 255 karyawan. Dalam sambutannya, Ketua Paguyuban Area Rudi Purnomoloka mengingatkan bahwa aktivitas PLN sangat dekat dengan masyarakat, sehingga pelayanan yang maksimal menjadi catatan penting. "Kami berhadap seluruh peserta dapat menanamkan nilai-nilai anti korupsi sebagaimana tercermin dalam film saat menjalankan tugasnya. Ingat, masyarakat kita sudah cerdas, dan tugas kita melayani masyarakat,"ujarnya.

Hal sama diungkapkan Manager Bidang Perencanaan Adi Suhana. Menurut Adi, film KvsK bagus sekali. Banyak hal dapat dilakukan untuk menjaga nilai-nilai integeritas, dimulai dari hal-hal kecil. Ia berharap film ini bisa ditonton oleh seluruh pekerja di lapangan, tidak hanya di level pimpinan saja. “Melalui humas, saya tengah mengupayakan supaya film ini bisa ditonton oleh para pekerja di lapangan,”demikian Adi. (TL/RSD)

Jumat, 20 April 2012

Para Guru Honorer Terkesan Film KvsK






Sosok guru honorer bernama Markun, yang mampu memberi teladan pada murid-muridnya untuk tidak melakukan ‘suap’ di cerita kedua film Kita versus Korupsi (KvsK) berjudul “Aku Padamu” ternyata mengesankan para guru honorer. Ya, sebanyak 178 guru honorer yang tergabung dalam Forum Komunikasi Guru Honorer Sekolah (FKGHS) nobar film KvsK di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5, Bandung, Jumat (20/4).

Diarti, seorang guru di SD Nugraha, Bandung mengungkapkan korupsi ternyata bisa dilakukan oleh siapapun sebagaimana tergambar dalam kisah-kisah di film KvsK. “Kita berharap untuk kedepan dengan film ini ada perubahan perilaku khususnya bagi para guru dan seluruh masyarakat Indonesia,”ujarnya.

Menurut Ketua FKGSH Yanyan Herdian, film KvsK memiliki nilai moral yang sangat kuat. Ia berharap, anggota forum guru honorer ikut serta dalam mengkampanyekan nilai-nilai anti korupsi dalam tugasnya. “Meskipun hak kita di sunat, kita harus tetap semangat memperjuangkan hak-hak kita,” ungkapnya dengan lantang. 

Sementara itu, H. Nanan Ma'soem sebagai pihak penyelenggara menyatakan cuplikan adegan film kedua merupakan refleksi bagi para guru honorer. Markun, meskipun di pecat, tetap setia pada murid-muridnya dalam menanamkan nilai-nilai integritas.

Pemutaran film KvsK ini merupakan rangkaian sosialisasi Peraturan Walikota No. 110 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bandung. (TL/RSD)  

Karyawan PLTU Suralaya Nobar KvsK





Sebanyak 133 pegawai PLTU Suralaya, Banten, Cilegon nonton bareng atau nobar film Kita versus Korupsi (KvsK) di Gedung Pertemuan Batubara, Jumat (20/4). Acara ini merupakan salah satu program PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam mewujudkan komitmennya menjadi institusi bebas korupsi. 

Diawali senam pagi bersama pukul 08.00, dan dilanjutkan pemutaran dan diskusi film KvsK. Dalam sambutannya, General Manager PLTU Suralaya Zainal Mustofa mengatakan film KvsK menjadi sarana edukasi bagi jajarannya untuk menata hidup lebih baik.

Usai pemutaran film, salah seorang penonton, Joko Mulyono mengungkapkan film KvsK sangat bagus buat pembelajaran. “Film ini langsung menyentuh ke hati, dan bertujuan membentuk Indonesia yang lebih baik,”ujarnya.

Joko berharap ia bisa turut mengkampanyekan film KvsK, misalnya dengan cara mensosialisasikan film melalui nobar di RT/RW di sekitar tempat tinggalnya. “Tentu saja hal itu bisa dilakukan jika versi DVD film ini sudah dibuat,” lanjutnya.

Sebelumnya, pihak PLN sendiri telah melakukan pemutaran film KvsK untuk wilayah Jakarta, Yogyakarta, dan Berastagi, Medan. (NR/RSD)

Kampanye Anti-Korupsi Dikembangkan ke Format Lain





Untuk mewujudkan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, Transparency International Indonesia (TII) terus mengembangkan konsep kampanye anti korupsi yang melibatkan partisipasi masyarakat. Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Management Systems International (MSI), TII menyelenggarakan workshop “Kampanye Bersama Melawan Korupsi” di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, Kamis (19/4). 

Workshop sehari ini melibatkan berbagai komunitas diantaranya komunitas pendidik (guru), film maker, penggiat sosial, seni dan budaya serta Eagle Institute. 

Dalam sambutannya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) TII Teten Masduki menjelaskan salah satu tujuan kegiatan ini adalah untuk menyamakan persepsi tentang tantangan dan arah kampanye korupsi saat ini.  Sebelumnya TII bersama KPK, USAID Indonesia, MSI, dan Cangkir Kopi telah memproduksi film bertema anti korupsi “Kita versus Korupsi” atau KvsK. Film yang mengangkat kehidupan masyarakat sehari-hari ini mendapat sambutan dan apreasiasi luar biasa dari masyarakat. 

“TII sendiri melalui film KvsK mencoba bersinergi dengan semua elemen masyarakat lain, termasuk seniman merumuskan materi kampanye anti korupsi agar lebih luas melalui bentuk yang mudah dipahami,” kata Teten.

Dalam forum ini semua perwakilan komunitas memaparkan pengalaman, ide dan strategi yang dapat dilakukan untuk terlibat dalam gerakan kolektif kampanye anti korupsi. Dari berbagai masukan tersebut diharapkan dapat dihasilkan pemetaan bersama dari peran dan tanggung masing-masing strategic group terhadap gerakan anti korupsi. 

“Kami dari Kelompok Seniman Jalanan Jakarta (KSJJ) ingin membuat konser musik jalanan dengan tema anti korupsi,” ujar Ryan Hamzah dari Teater Tukang. 

Selain perwakilan dari seniman, hadir pula perwakilan dari KPK dan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang sama-sama sepakat menyatakan bahwa gerakan melawan korupsi ini tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Untuk adanya gerakan bersama, harus ditumbuhkan terlebih dahulu kesadaran kolektif untuk melihat korupsi sebagai musuh bersama. (AS/RSD)

  

Kamis, 19 April 2012

KvsK Segera Hadir di Jogja dan Solo






Film Kita versus Korupsi (KvsK) terus mendapatkan apreasiasi dari masyarakat. Hal itu tercermin dari antusiasme penonton di empat kota yang menjadi tempat pemutaran dan diskusi (roadshow) film KvsK, masing-masing Jakarta, Semarang, Makassar dan Bandung. Untuk memenuhi keingintahuan masyarakat, film KvsK akan hadir di Yogyakarta dan Solo, Kamis (26/4) sampai Senin (30/4). Acara ini merupakan rangkaian roadshow film KvsK di 17 kota di Indonesia.   

Kali ini Club Indonesia Bersih (CIB) bekerja sama dengan Institute of Development and Economic Analysis (IDEA), sebuah organisasi non-pemerintah di Yogyakarta mengusung tema “The Youth Against Corruption: Memutus Rantai Korupsi pada Anak Muda.” Kegiatan pemutaran dan diskusi film ditujukan bagi generasi muda, khususnya pelajar dan mahasiswa untuk turut mengkampanyekan gerakan anti-korupsi. “Gerakan seperti ini dibutuhkan untuk menjadi bagian dari upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh anak muda untuk memutus rantai korupsi,”kata Wiwit Ekawati dari IDEA.

Roadshow di Jogja berlangsung tiga hari, Kamis (26/4) sampai Sabtu (28/4). Hari pertama kegiatan difokuskan talkshow di Jogja TV dengan nara sumber dari Transparency International Indonesia (TII), IDEA dan produser film M. Abduh Aziz. Selanjutnya audiensi ke Radio Anak Jogja dan talkshow di Radio Republik Indonesia (RRI) Jogja dengan nara sumber sama.

Hari kedua, pemutaran dan diskusi film KvsK di kampus Universitas Gajah Mada (UGM), SMAN 3 Yogyakarta, SMA Muhammadiyah 1 dan ditutup talkshow di radio Unisi FM. Acara ini akan dihadiri Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, Sekretaris Jenderal (Sekjen) TII Teten Masduki, prosuder, sutradara dan pemain film KvsK.

Kegiatan di hari terakhir berupa pemutaran dan diskusi film bagi tamu undangan dan masyarakat umum di Empire XXI, Jalan Urip Sumohardjo, Yogyakarta. Dan ditutup konferensi pers dengan media setempat di Roemah Pelantjong, Jalan Magelang Km 8, Yogyakarta.

Sementara itu di Solo, CIB menggandeng Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Surakarta mengusung tema kampanye anti korupsi. Kegiatan difokuskan pada pemutaran dan diskusi film KvsK selama dua hari, Minggu (28/4) dan Senin (29/4). Bertempat di Empire XXI Solo Square, Surat Kabar Harian (SKH) Joglo Semar dan Balai Muhammadiyah, Jalan Teuku Umar No. 5, Solo. (RSD)

Rabu, 18 April 2012

KvsK: Cerita-cerita Sederhana Bermakna Luar Biasa


Oleh: Odagoma Rsjr, Mahasiswa Sastra Indonesia FIB UI



Siapa yang menduga di tengah-tengah dunia korupsi yang sedang melakukan ekspansi dan menancapkan hegemoninya di Indonesia, di antara keraguan masyarakat yang semakin memuncak terhadap para penegak hukumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih bisa menghasilkan propaganda yang segar dan out of the box. Bersama Transparency International Indonesia, Anti Corruption Information Centre (ACIC) dan para pekerja film yang peduli akan pemberantasan korupsi di Indonesia, KPK memproduksi sebuah film berjudul Kita versus Korupsi.


Kita versus Korupsi diproduksi dengan konsep omnibus, konsep yang perkembangannya saat ini sedang menggeliat di dunia film Indonesia. 4 film di dalamnya adalah antologi dari cerita-cerita  terbaik sayembara yang diselenggarakan KPK sebelumnya. 4 film pendek dari 4 sutradara dengan 4 cerita yang berbeda. Namun, semuanya berada dalam satu jalinan benang merah yang sama: kita melawan korupsi.

Film pertama adalah “Rumah Perkara”dari Emil Heradi. Bercerita tentang Yatna (Teuku Rifnu Wikana), seorang lurah yang menjual tanah desanya kepada seorang pengusaha untuk dijadikan lapangan golf. Penjualan tanah desa tersebut terhalang oleh Ella (Ranggani Puspandya), seorang janda yang kukuh mempertahankan tanahnya. Film ini menggambarkan pengaruh korupsi yang sangat luas sampai ke dalam pedesaan. Film ini juga menggambarkan pemimpin-pemimpin yang seringkali lupa akan janjinya. Emil dengan sangat baik menggambarkan pergolakan batin individu-individu yang ada dalam cerita ini secara dramatis dengan menampilkan semua konflik bersamaan di akhir cerita. Pembakaran rumah Ella, janji Yatna untuk melindungi desa saat kampanye, kenekatan anak Yatna masuk ke dalam rumah yang telah terbakar untuk menyelamatkan Ella yang telah menemaninya bermain, semuanya berkumpul menjadi satu membentuk sebuah akhir yang dramatis.

Jika film pertama menceritakan kehidupan pedesaan, film kedua berjudul “Aku Padamu” karya Lasja F. Susanto bercerita tentang kehidupan perkotaan. Gelora asmara anak muda masa kini yang diwakili oleh Vano (Nicholas Saputra) dan Laras (Revalina S Termat) tergambar dengan jelas di sini. Vano dan Laras ingin menikah tanpa sepengetahuan orang tua Laras. Hasilnya, keinginan mereka terhambat urusan kartu keluarga, dan calo pun menjadi pilihan Vano untuk mempercepat penyelesaian masalah tersebut. Di sinilah kemudian muncul kekuatan film ini. Laras ternyata bukanlah sekadar anak muda zaman sekarang yang biasa. Dalam dirinya tertanam nilai-nilai anti suap yang diwariskan oleh guru panutannya saat SD (Ringgo Agus Rahman), seorang guru honorer yang rela hidup susah hingga akhir hidupnya karena tidak mau membayar “uang pelicin” kepada ayah Laras, sang kepala sekolah. Kedua kontras inilah yang dengan baik dimainkan oleh Lasja menjadi kekuatan film ini.

Film ketiga,”Selamat Siang, Risa” adalah arahan dari Ine Febriyanti. Film ketiga ini bercerita tentang seorang penjaga gudang bernama Arwoko (Tora Sudiro) yang tengah dilanda kesulitan ekonomi pada masa Malari (1974). Kebimbangan adalah hal yang sangat sering terjadi ketika kita berhadapan dengan korupsi, begitu pula yang terjadi saat Arwoko menerima tawaran dari seorang penimbun beras untuk menggunakan gudangnya yang saat itu sedang kosong, apalagi seluruh teman-teman dan atasannya telah menerima tawaran tersebut. Pergolakan batin Arwoko tergarap dengan baik dan penuh emosi di sini. Sayangnya, film ini tidak berhenti pada saat yang tepat. Keputusan melanjutkan cerita setelah klimaks agaknya menurunkan emosi yang sudah dengan sangat baik dimainkan oleh Ine.

Film keempat mengangkat sisi yang lebih berwarna. Film berjudul “Psssttt… Jangan Bilang Siapa-Siapa” ini disutradarai oleh Chairun Nissa. Dengan gaya mockumentary, film ini dengan sangat natural menangkap kehidupan sehari-hari siswi SMA masa kini dengan segala kehebohan dan keceriaanya. Dialognya segar, artistiknya sangat berwarna,  keterusterangannya, khas kehidupan SMA. Berbekal sebuah kamera yang menjadi “mata” film ini, Gita (Alexandra Natasha) menangkap adanya korupsi yang dilakukan oleh pihak sekolah dengan modus buku paket yang ternyata pembeliannya berpengaruh kepada nilai siswa sesuai dengan “baik-buruknya pembelian”. Tak hanya itu, dari obrolan tentang buku paket ini, terungkap kenyataan-kenyataan korupsi lain yang selama ini sering dilakukan oleh teman-temannya, Ola (Siska Selvi Dawsen) dan Eci (Nasha Abigail), yang telah dianggap biasa oleh keduanya. Mockumentary menjadi sangat lancar bercerita dalam film ini. Dengan jelas tergambar korupsi yang sudah merambah ke segala lini kehidupan dan dianggap biasa. Bahkan, pembicaraannya dilakukan di kantin, tempat yang paling ramai di sekolah, tanpa ada reaksi sedikit pun dari yang berlalu lalang di sekitarnya. Korupsi memang benar-benar telah menjadi biasa. 

Kita versus Korupsi adalah sebuah karya yang patut mendapat apresiasi dari masyarakat Indonesia. Cerita-cerita yang sehari-hari ada di sekitar kita berhasil dikemas dengan sangat baik menjadi cerita yang penuh dengan makna luar biasa. Dengan niatannya untuk menjadi film non-komersil, film ini telah berhasil menjadi lebih dari sekadarnya. Sinematografi adalah salah satu kekuatan utamanya. Alam pedesaan yang indah, kehidupan masyarakat pada tahun 1974, perkotaan, dan warna-warni SMA, semuanya tegambarkan dengan warna-warna yang mengisi hati. Suasana yang dibangun oleh warna-warna tersebut menjadi dunia yang tepat bagi pergolakan batin yang ada di dalamnya. Applause khusus untuk Anggi Frisca, Ical Tanjung, Ipung Rachmat, dan Yunus Patawari yang telah melukiskan itu semua. Selain itu, emosi yang tertuang dengan baik dalam film ini tergambar lewat gestur dan ekpresi yang baik pula dari para pemainnya. Semua itu didukung oleh permainan kamera yang banyak menggunakan gambar close up dan pergerakannya yang tepat, sesuai dengan apa yang sedang terjadi saat itu. Sebagai sebuah propaganda anti korupsi pun Kita versus Korupsi tidak berusaha untuk menceramahi, tetapi bertutur nyata dengan ceritanya. 8 dari 10 bintang dari saya.

Sumber: Kompasiana

Selasa, 17 April 2012

Pemkot Pekalongan Nobar KvsK di Borobudur Cineplex




Pemerintah kota (Pemkot) Pekalongan berinisiatif menyelenggarakan pemutaran dan diskusi film Kita versus Korupsi (KvsK) di Borobudur Cineplex 21, Pekalongan, Selasa (17/4). Sebanyak 344 penonton hadir dalam acara ini, diantaranya Walikota Pekalongan HM Basyir Ahmad, jajaran Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Kepala Bagian Bagian (Kabag) dan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Pemkot Pekalongan, masyarakat dan media.

Dua ruang yang disediakan yaitu Teater 1 dan 2 dengan kapasitas masing-masing 176 kursi ini terisi penuh. Dalam sambutannya, Basyir menyatakan bahwa pemutaran film KvsK merupakan rangkaian kegiatan talkshow reformasi birokrasi di jajaran Pemkot Pekalongan.

Usai pemutaran film, acara dilanjutkan diskusi film dengan nara sumber sutradara film “Selamat Siang Risa” Ine Febrianti dan Wakil Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Luky Djani. 

Dalam kesempatan ini, Basyir sekaligus meresmikan bioskop Borobudur Cineplex 21 yang terletak di mall Borobudur, Komplek Pasar Panjasari, Jalan Sultan Agung, Pekalongan. (TL/RSD)

Kita Versus Korupsi


Oleh: Haneda Sri Lastoto, Kepala Perwakilan Ombudsman Jawa Barat & Anggota Fordiskum Bandung


“Kita Versus Korupsi” adalah judul film yang diprakarsai oleh USAID, Komisi Pemberantasan Korupsi, Transparency International untuk Indonesia, dan Management Systems International yang sempat diputar di BIP Bandung. Film yang berdurasi sekitar 70 menit tersebut menampilkan 4 cerita yang berbeda mulai dari peranan seorang kepala desa, kepala sekolah, kepala gudang, dan guru sekolah. Cukup bagus, menarik serta jelas pesan yang disampaikan dalam film tersebut. Hampir tiga perempat kursi dalam gedung terisi oleh penonton hingga akhir acara.


Di tengah-tengah situasi global yang sudah begitu maju budaya dan teknologinya termasuk dampak yang terjadi, pincangnya pertumbuhan-pertumbuhan negara kaya dan negara miskin, isu korupsi masih menjadi persoalan tersendiri di negeri ini. Entah sampai kapan praktik koruptif ini bisa diminimalisasi atau bahkan hilang dari negeri yang religius ini. Sampai-sampai Acil Bimbo pada saat melantunkan lagu “Jual Beli” pun salah satu liriknya begitu menakutkan akibat perilaku koruptif, harga diri kita pun sudah tidak ada.

Menonton tayangan film “Kita Versus Korupsi”, bila diperhatikan kejadian-kejadian dalam film tersebut, tindak pidana korupsinya digolongkan kategori suap-menyuap. Dalam film tersebut, tokoh-tokohnya melibatkan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Mulai dari kepala desa, kepala sekolah, kepala gudang, dan guru sekolah serta masyarakat biasa.

Antikorupsi

Kita tentu sudah sepakat bahwa agar kehidupan berjalan secara baik, teratur, dan saling menghargai satu sama lain, diperlukan suatu pemerintahan untuk mengatur segala sesuatunya, terutuma hal-hal yang menyangkut tentang penegakan hukum untuk kepentingan masyarakat. Mandat sudah kita berikan sepenuhnya kepada pemerintah untuk mengatur hal tersebut dan pemerintah melalui ketentuan yang dibuatnya mengatur segala sesuatunya agar berjalan sebagaimana mestinya. Untuk dapat menjalankan ketentuan yang telah dibuat, pemerintah juga telah dibekali sejumlah aparat negara (state apparatus) yang disebut sebagai aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, pengadilan dan aparat negara lain yang mendukung sehingga terwujudnya negara hukum yang adil dan demokratis.

Namun, apabila melihat fakta tentang penegakan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi, masih belum tercapai antara harapan dan kenyataan. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai garda depan yang diharapkan melalukan pemberantasan korupsi justru dikorup oleh aktor-aktor “liar” di luar pemerintah baik sebagai pelaku korupsi maupun bukan dengan berbagai cara agar semakin tidak berdaya. Lantas kemudian aktor-aktor “liar” di luar pemerintah itulah yang mengatur dan menerima manfaat secara pribadi dan organisasi sehingga merugikan masyarakat. 

Gerakan sosial antikorupsi sudah dilakukan oleh Teten Masduki dengan ICW-nya pertama kali pada 1998 dengan mengajak masyarakat sebagai korban langsung akibat ulah koruptor. Tidak mungkin mampu membasmi korupsi tanpa melibatkan masyarakat walau sekecil apapun andilnya. Bagaimana kita mampu memberantas korupsi kalau kita sendiri terlibat langsung sebagai pelaku. Mengurus perizinan sudah ada aturan dan mekanismenya, tetapi karena ada penyelenggara negara yang melakukan abuse of power sehingga menjadi lama izin diperoleh. Pada saat itulah masyarakat harus berani mengatakan akan melaporkan perilaku penyelenggara negara tersebut bukan justru kemudian menyuap aparat agar lancar.

Perilaku aparat penyelenggara yang gemar melakukan penyalahgunaan wewenang (maladministrasi) adalah berbicara soal struktur. Karena didalamnya menyangkut soal kewenangan dan kekuasaan. Namun, hal lainnya yang juga sangat penting adalah soal kultur. Jangan-jangan problem pada kultur menimbulkan peluang penyerobotan pada struktur. Yang dimaksudkan di sini, kultur kita untuk tertib, teratur, dan berbudaya dalam tata kehidupan publik yang masih lemah, sehingga dengan kultur yang buruk seperti itu memberi peluang penyimpangan pada struktur.

Kultur adalah hal-hal yang menyangkut kebiasaan dan pola-pola kehidupan yang kita jalani. Kita lihat soal parkir, kebiasaan untuk parkir pada tempat yang disediakan juga belum menjadi kultur. Parkir dilakukan di sembarang tempat, bahkan di tempat yang jelas dilarang untuk parkir sekalipun. Ruang publik seperti jalan atau trotoar sering dipakai sebagai lahan parkir dan sangat menganggu kepentingan publik.

Lantas yang manakah yang menjadi hulu, dan manakah yang menjadi hilir, strukturkah memengaruhi kultur atau kultur memengaruhi sruktur? Tentu tidak ada yang menjadi hulu dan tidak ada yang menjadi hilir, keduanya saling memengaruhi, dan karena itu mesti dilakukan pemberantasan pembenahan diantara keduanya. Struktur harus ditata, dan bersamaan dengan itu kultur juga harus diciptakan melalui suatu rekayasa budaya.

Artinya, bila ingin membenahi praktik koruptif hilang di negeri ini, film “Kita Versus Korupsi” memberi contoh, seorang kepala gudang yang menolak disuap, seorang gadis yang ingin menikah tidak mau calon suaminya menyuap petugas KUA. Hal lain yang tidak kalah penting dalam pemutaran film itu, panitia memberikan lembaran untuk diisi oleh hadirin yang menyaksikan pemutaran film sebagai ikrar yang dinyatakan oleh penonton dengan tanda tangan dan nama lengkap tidak akan melakukan korupsi, suap-menyuap, dan lain sebagainya sebagai bentuk gerakan sosial anti korupsi. Pertanyaannya adalah berapa orang yang mengisi dan kemudian mengembalikan lembaran tersebut kepada panitia?




Pelajar dan Mahasiswa Bandung Apresiasi Film KvsK





Roadshow film Kita versus Korupsi (KvsK) di Bandung selama tiga hari, Selasa (10/4) sampai Kamis (12/4) berlangsung sukses. Lebih dari 1500 penonton hadir dalam acara pemutaran dan diskusi film KvsK, bertempat di SMK Prakarya Internasional (PI), SMA Mutiara Bunda, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Empire XXI Bandung Indah Plaza (BIP), dan SMA Mutahhari.

Pemutaran perdana bertempat di SMK Prakarya Internasional, Jalan Inhofftank, Tegallega, Bandung. Sekitar 150 siswa, guru dan karyawan SMK PI nobar film KvsK di sebuah ruang kelas sederhana berukuran 7 x 12 meter. Acara dibuka dengan sambutan Kepala SMK PI Iwan Setiawan, dan dilanjutkan pemutaran film KvsK. Respon penonton sesekali terdengar riuh saat menyaksikan adegan-adegan lucu dan menarik. Dari rangkaian empat film pendek KvsK, film “Pssstt…Jangan Bilang Siapa-Siapa” karya Chairun Nissa dan “Selamat Siang Risa” karya Ine Febrianti menjadi favorit  penonton. 

Dalam diskusi dengan nara sumber sutradara Chairun Nissa, pemain film Nasha Abigail dan Siska Selvi Dawsen serta Dwipoto Kusumo dari Transparency International Indonesia (TII) terungkap bahwa kisah-kisah di film KvsK merupakan potret kehidupan sehari-hari yang terjadi di masyarakat. Memed, salah seorang guru mengaku sudah 22 tahun berhenti melakukan praktek ‘jual-beli’ buku di sekolah, sebagaimana tergambar dalam film “Pssstt…Jangan Bilang Siapa-Siapa”.

“Film ini seolah-olah menyindir kami, walaupun saya sudah 22 tahun tidak melakukannya lagi. Mudah-mudahan melalui film ini menjadi pengingat bagi kami semua di sini,”ujarnya.

Sambutan antusias juga terjadi di SMP/SMA Mutiara Bunda, Jalan Padang Golf No. 11, Arcamanik, Bandung. Sekitar 250 siswa, guru, karyawan dan orang tua murid hadir di Aula SMP/SMA Mutiara Bunda. Pada sesi diskusi usai pemutaran film, para siswa menyatakan film KvsK bagus dan menarik. Salah satu siswa, Nasri Bintang mengatakan film KvsK tak seperti yang dia bayangkan sebelumnya. “Filmnya menarik dengan sudut pandang berbeda. Biasanya kan korupsi identik dengan hal-hal tidak menarik. Kami sangat berterima kasih,”ucapnya.

Sama halnya Lastri, salah satu orang tua murid ini mengakui film KvsK sangat bagus bagi pembelanjaran di kalangan pelajar, guru dan orang tua murid. “Mestinya film-film seperti ini diputar di televisi nasional supaya lebih banyak ditonton masyarakat,”harapnya. Sedangkan Indraza Marzuki dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan KvsK sebenarnya film biasa bertema korupsi. “Yang menjadi luar biasa, karena korupsi adalah kejahatan luar biasa yang ada di sekitar kita,”jelas Indra.

Deklarasi Anti Korupsi

Hari kedua roadshow dilanjutkan ke kampus UIN Gunung Djati dan UPI Bandung. Lebih dari 200 mahasiswa nobar di Aula UIN Gunung Djati. Dalam sesi diskusi, salah seorang mahasiswa meminta KPK untuk bertindak lebih berani dalam memberantas korupsi di Indonesia. “Kami akan selalu mendukung langkah KPK dalam pemberantasan korupsi,”tandasnya.

Di kampus UPI,  pemutaran dan diskusi film dihadiri sekitar 400 mahasiswa, dosen, dan jajaran civitas akademika UPI. Dalam sambutannya, Rektor UPI Sunaryo Kartadinata menyatakan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Bersama dengan Sekretaris Jenderal TII Teten Masduki, perwakilan dosen dan mahasiswa, Sunaryo menandatangani Deklarasi Anti Korupsi. Acara ini juga dihadiri Acil Bimbo, salah satu personel Bimbo.

Hari ketiga roadshow diselenggarakan di Empire XXI BIP dan SMA Mutahhari Bandung. Sekitar 350 tamu undangan nobar film KvsK di Studio 1. Acara ini dihadiri Walikota Bandung Dada Rosada, Wakil Walikota Ayi Vivananda, Sekretaris Daerah Edi Siswadi, segenap jajaran pemerintah kota (pemkot) Bandung, polsek, polres, pelajar dan media lokal.

Dada mengatakan pemutaran film sebagai upaya sosialisasi untuk menanggulangi korupsi dari sisi pencegahan melalui kegiatan seni dan budaya. Ia juga berharap film KvsK bisa ditonton di seluruh kecamatan di Kota Bandung. “Pakai layar tancap tidak apa-apa, yang penting film ini bisa ditonton lebih banyak orang, karena materi dan ceritanya bagus,”ujarnya.

Sementara itu, di SMA Mutahhari, pemutaran dan diskusi film dihadiri sekitar 150 siswa, guru dan segenap karyawan. Apresiasi terlihat pada sesi diskusi, dimana sebagian besar pelajar menyukai film KvsK. (RSD)


Minggu, 15 April 2012

Film yang Mengguncang Nurani

Oleh: Alonrider




Pria dengan balon warna-warni itu kini berbaring untuk selamanya. Penyakit kronis merenggut perjuangannya: mendidik para sahabat kecil, murid sekolah dasar. Dari balik pintu kamar yang sederhana, sang murid tergugu. Wajahnya pasi, matanya sembab, sedari tadi linang air mata tak henti menderai.

Di kamar, istri si guru honorer itu meraung. Berkali-kali dia meratap,”Bapak orang baik, bapak orang baik, kenapa?”. Mungkin di alam roh, Markun si guru berhati luas itu, mengelus dada. Masih ingat benar dia cemoohan istrinya, dulu, semasa dia mengajar dan sesekali berdandan badut, berjualan balon dan dongeng suci ke anak-anak.

“Sudahlah pak, jika saja bapak membayar ke pak itu, tentu hidup kita lebih baik. Bapak tak perlu jadi ketawaan orang,” begitu cibiran istrinya, tiap kali dia “ngamen” keliling kampung.

Markun bergeming. Bagi dia, sekolah itu sama seperti dunia ini: fana. Maka sahabat-sahabat kecilnya pun begitu suka ria mendengarkan guru berhati lurus ini mengajar dan mendongeng di luar kelas, dibawah pepohonan. “Ayo anak-anak, bapak sekarang punya kelas yang maha luas dan tembok yang tak terbatas. Atapnya awan, dindingnya pepohonan.”

Kini, sang guru dan badut pendongeng membisu selamanya. Sad ending.

Tapi tunggu dulu. Integritas Markun itu begitu membekas di hati si murid. Kelak, ketika dewasa, dia berani menolak ajakan kekasihnya untuk menyogok petugas KUA yang merayu mereka berdua setengah mati demi surat nikah resmi. Tak kepalang tanggung si oknum KUA mengutip aneka ayat suci demi mendapat recehan dari pasangan dimabuk asmara itu.

Ah, cerita tentang oknum ini-itu begitu gampang dicari di sekeliling kita. Laiknya debu jalanan. Ada dimana-mana. Sementara kisah Pak Guru Markun, itu bagai dongeng. Folklor. Mungkin pernah ada zaman dahulu kala.

***

Ini kisah lainnya. “Folklor” tentang Arwoko, seorang penjaga gudang di tahun 1970an. Untuk menambah pendapatan, istrinya membuka jasa menjahit di rumah. Mereka hidup sederhana. Rupiah lembar demi lembar disimpan dalam kotak kayu.

Sampai cobaan itu tiba. Anak keduanya sakit keras. Seharian rewel dan muntah-muntah. Di rumah sakit, istri Arwoko tertegun. Uang tabungannya tak cukup menebus resep dokter. Hanya separuh obat yang dia bawa. Sementara Risa, anak pertamanya merengek meminta balon.

Beras hanya cukup untuk sehari, sementara sang anak sakitnya tak kunjung sirna. Obat tandas, tak mau menetes dari botol. Sebuah radio tua – yang saban hari menyiarkan propaganda Orde Baru soal swasembada pangan – menjadi satu-satunya benda berharga yang layak jual.
Tapi tidak juga. Arwoko kembali dengan radio di pundak. Matanya melirik wadah beras yang tinggal beberapa butir dan anaknya yang dibungkus kain tebal. Lemas.

Sampai sebuah ketukan di pintu rumah menyadarkannya. Abeng, seorang juragan beras ternama bermaksud meminjam gudang tempat Arwoko bekerja untuk menimbun beras. Abeng berbisik, bahwa dia telah “berkoordinasi” dengan atasan Arwoko, sambil menyodorkan beberapa gepok rupiah.

Ujian yang maha berat. Seolah ada dewa penolong di depan mata ketika kesulitan merundung hidup Arwoko. Istrinya hanya bisa terisak di bilik kamar. Apalagi ketika sang suami menolak “pertolongan” Abeng. Dia peluk anaknya sembari tergagap-gagap ke pintu kamar.

Selangkah sebelum keluar, dia dengar suaminya berkata,”Saya tidak tahu, apa karena kebodohan saya menolak pemberian bapak. Jika saya terima, maka saya gadaikan seluruh hidup saya seterusnya.” Juragan Abeng pun berlalu.

Di kamar, Arwoko meraih si anak dari istrinya. Menciuminya dengan hati, tangis, dan tubuh bergetar. Esok hari, ujian itu punah. Putra keduanya sehat sedia kala. Happy ending. Keteguhan sang ayah, membuat Risa dewasa menolak gratifikasi yang diberikan relasi bisnisnya.

Di masa kini, cerita itu menjadi sumir. Bahwa suatu masa lalu ada orang yang benar-benar lempeng seperti Arwoko.

***

Tentu saja kisah Markun dan Arwoko bagian dari dongeng modern. Sosok Markun muncul dalam film berjudul “Aku Padamu” yang skenarionya ditulis Sinar Ayu Massie dan disutradarai Lasja F. Susatyo. Sedangkan Arwoko mengejawantah melalui arahan sutradara Ine Febriyanti yang menulis skenario “Selamat Siang, Risa!” bersama Gunawan Raharjo.

Bersama dua film lainnya: “Rumah Perkara” dan “Psst…Jangan Bilang Siapa-siapa” merupakan hasil kolaborasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Transparency International Indonesia, Management Systems International, USAID, dan Cangkir Kopi.

Didukung oleh aktor dan aktris ternama seperti Tora Sudiro, Nicholas Saputra, Revalina S. Temat, Ringgo Agus Rahman, Dominique Agisca Diyose, Ine Febriyanti, dan lain-lain.

Berbiaya produksi Rp 1 milyar – terhitung murah untuk produksi empat film, karena para pemain kondang emoh dibayar – film dengan tema “Kita versus Korupsi”  (KvK) ini mampu menggedor nurani penonton. Istilah gaul di dunia online yaitu #JLEB.

Bagi saya, dua film yang paling menggranat penonton yaitu “Selamat Siang, Risa!” dan “Aku Padamu”. Dua film lain, cukup bagus, tapi secara keseluruhan masih kurang kuat mengguncang hati pemirsa.

“Rumah Perkara” misalnya, model penggusuran lahan melalui kekerasan rasanya sudah ketinggalan zaman. Seorang rekan, jurnalis senior membisikkan, “Cara halusnya dengan memberangkatkan haji orang sekampung.” Saya tersedak diam-diam. Minuman ringan hampir saja muncrat dari mulut.

Ending “Rumah Perkara” yang ditulis Mohamad Ariansyah dan Damas Cendekia, seakan menegaskan hukum karma dan pepatah “siapa menabur angin, akan menuai badai.” Pak Lurah, antek kapitalis, peselingkuh janda ayu di desanya, harus menerima badai tak terkira. Pungkasan yang gamblang dari sutradara Emil Heradi.

Gaya abege muncul dalam film “Psst…Jangan Bilang Siapa-siapa” yang diarahkan Chairun Nissa dan ditulis Jazzy Mariska Usman. Bercerita soal gaya hidup konsumerisme dan hedonis di kalangan anak sekolah. Mark up uang buku demi ponsel terkini, sampai kolusi dengan guru dan kepala sekolah. Encer. Pas untuk konsumsi remaja.

Pendekatan budaya dalam melawan korupsi ini patut diapresiasi. Pesan yang disampaikan jelas, bahwa pondasi utama moral, nurani, dan integritas itu paling besar ada di keluarga dan pendidik.

Busyro Muqoddas, Ketua KPK dan produser eksekutif KvK, menyebut bahwa korupsi mengalami proses regenerasi. Anak muda mulai tertular korupsi yang mulai dianggap biasa. “Generasi muda perlu dipotek nuraninya melalui keluarga sebagai basis moral,” kata dia sesaat sebelum film diputar perdana untuk umum di Djakarta Theatre XXI, kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis, pekan lalu.

Saya sependapat dengan petinggi KPK itu. Agar karakter yang penuh integritas dan lurus itu tak dianggap mitos dan dongeng purba. Dan saya lihat film ini cocok diputar di ruang keluarga sembari menikmati teh tubruk kampung, kacang rebus, sambil memeluk anak istri. Bagaimana?

Sumber: Alonrider

 

Kita vs Korupsi Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger