Oleh: Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
Demokrasi seperti berwajah ganda. Di satu sisi demokrasi
merupakan instrumen yang dipercaya mengagregasi kepentingan publik, tetapi di
sisi lain menggerogotinya.
Ini sulitdipungkiri manakala demokrasi dipilih sebagai jalan
memperbaiki bangsa yang semrawut,tetapi pada saat yang sama melahirkan mafia,
berlindung di balik ”jubah” demokrasi.
Dewasa ini demokrasi hanya diidentikkan dengan peran partai
dalam pemilihan umum. Di sisi publik: memberi suarasaat pemilu adalah tanggung
jawab final, urusan demokrasi selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada wakil
yang ia pilih. Pemilu lalu bermetamorfosis menjadi seremoni yang liberal. Aktor
politik memanfaatkan pragmatisme publik meraih suara. Politik uang dilakukan
terang-terangan.
Pemilu yang seharusnya tempat kontestasi gagasan dan program
propublik justru beralih jadi ajang perlombaan kekayaan. Parpol pun jadi aktor
utama dalam kontestasi ini : cenderung memunculkan ruangtransaksi tersebut saat
penjaringan calon di dalam partai. Gejala ini akhirnya berimplikasi pada
pembajakan fungsi-fungsi negara karena ada upaya mengembalikan biaya politik
yang telah dikeluarkan saat pemilu. Maka, di kemudian hari bermunculan aktor
politik yang menyandang ”gelar”tersangka hingga terpidana kasus korupsi.
“Mafia” Demokrasi
Kualitas demokrasi yang begitu buruk inisebetulnya cermin
situasi demokrasi di Indonesia secara umum.Benarlah pandangan BrianC
Smith(1998): pemilu ditingkat daerah yang begituburuk akan berbanding lurus
dengan kualitas pemilu nasional.
Jamak diketahui perilaku elite di tingkat lokaltak kalah
”beringas”dengan elite politik di tingkat nasional. Setali tiga uang dengan
itu, manakala tangan hukum bekerja, ramai-ramailah para elite lokal dan
nasional dijebloskan ke penjara.
Pilkada langsung sebagai instrumen penguatan demokrasi di
tingkat lokal berubah menjadi alat legitimasi semu bagi sebagian kepala daerah.
Kuatnya peran pemodal menyokong sumber daya, termasuk dana bagi calon tertentu,
telah dimanfaatkan untuk ”beli” suara. Bahkan, publik ikut ”menyukseskannya”
dengan bersikap pragmatis.
Keterpilihan kepala daerah yang semula diharapkan memberi
napas barubagi daerah justru ancaman bagi daerah. Banyak kepala daerah yang
saat berkuasa berusaha membangun kekuasaan di lingkaran keluarga dan kroninya.
Muncullah dinasti politik di daerah.Tujuannya: memperkuat kedudukan politik
menguasai sumber daya ekonomi daerah. Mereka berusaha menciptakan lingkaran
kekuasaan demi mengamankan sumber daya ekonomi untuk kepentingan kelompok
mereka. Gambetta (2000;164) sebagaimana dikutip Jeffrey A Winters (Oligarki ,
2011) menyamakan perilakuini layaknya seorang mafia memonopoli
sebanyak-banyaknya sumberdaya di suatu daerah.
Di tingkat nasional hal semacam ini seolah-olah direplikasi.
Sumber daya ekonomi nasional (APBN) disiasati untuk kepentingan kelompok berkuasa.
Mafia juga bekerja pada level ini. Proyek infrastruktur pemerintah dibajak oleh
elite berkuasa untuk membiayai kegiatan politiknya. Muncullah kasus wisma
atlet, Hambalang, dan kasuskorupsi yang diduga melibatkan beberapa perguruan
tinggi.
Merekalah penjahat dan mafia yang menggerus nilai demokrasi.
Bersikap seolah-olah wakil rakyat, berperilaku serupa mafia. Publik seharusnya
menyadari bahwa gejala ini disebabkan oleh perilaku pragmatis yang selama ini
memang dipelihara. Tidak hanya oleh partai, tetapi juga oleh publik. Perlu
gagasan baru untuk membangun demokrasi yang lebih sehat. Jurgen Habermas
mencoba menawarkan gagasan: demokrasi deliberatif.
Deliberatif, deliberatio, berarti konsultasi, menimbang,
dalam bahasa politik diterjemahkan sebagai musyawarah. Secara sederhana
demokrasi deliberatif menghendaki peningkatan intensitas partisipasi publik
dalam pembentukan kebijakan. Tujuannya: kebijakan yang dihasilkan akan
mendekati harapan semua pihak. Pemahaman tentang demokrasi perlu diluruskan melalui
diskursus ini.
Penyerahan mandat melalui pemberian suara pada saat pemilu
bukan berarti memberikan keleluasaan yang tak terbatasbagi para pejabat publik
untuk menentukan sendirikebijakannya. Publik seharusnya mengambil peran yang
lebih besar karena berkaitan langsung dengan hajat hidupnya sendiri.
Absennya publik dalam proses pengambilan kebijakan justru
memperbesar peluang bagi mafia melakukan aktivitasnya.Publik perlu menjatuhkan
hukuman bagi partai politik yang memunculkan mafia demokrasi. Tak memilih
partai korup adalah langkah awal bagi publik melakukan perlawanan secara
politik.
Sumber: Kompas Cetak
0 komentar:
Posting Komentar