Oleh: Bellanissa Brilia Zoditama, mahasiswi Telkom Institute of Management Bandung.
Hari Kamis kemarin, 12 April 2012 saya diberi kesempatan
untuk menonton langsung sebuah film yang berjudul “Kita vs Korupsi” di XXI
Empire, Bandung Indah Plaza.
Film Kita Vs Korupsi adalah sebuah film yang terdiri dari 4
cerita dan 4 sutradara. Durasi film ini ‘hanya’ 70 menit, terlalu singkat untuk
film yang diputar di bioskop, dan menelan dana 1,2 M, termasuk murah dengan
pembuatan film yang biasanya menghabiskan sampai 5 M. Padahal pemain dan
pengisi musiknya adalah orang-orang yang terkenal di negeri ini. Sebut saja,
Nicholas Saputra, Revalina S. Temat, Ringgo Agus, Efek Rumah Kaca, dan The
Flowers.
Bila kebanyakan film adalah sebuah fiksi yang difilmkan,
film ini adalah sebuah refleksi nyata yang ada di negeri kita, tentang Korupsi.
Siapa sih yang gak tau tentang korupsi? Jadi mari baca review saya tentang film
ini. Tapi sebelumnya saya minta maaf karena saya lupa sama setiap judul cerita.
Cerita pertama:
tentang seorang kepala desa dengan seorang delevoper.
Cerita tentang kepala desa ini melakukan sebuah ‘kerja sama’
dengan seorang developer perumahan untuk membangun sebuah real estate di desanya
itu. Dengan iming-iming tentu saja. Semua penduduk di desa itu disuruh pergi
meninggalkan desa, dan hanya tersisa seorang janda yang masih menetap di sana.
Akhirnya karena bingung mengusir janda itu, bawahan-bawahan
sang developer melakukan cara tercepat dan termudah dengan membakar rumah sang
janda, padahal janda itu sedang berada di dalam rumah. Hal yang paling miris
terjadi di akhir film, dimana anak dari kepala desa pergi ke rumah janda itu
untuk mencari ayahnya, dan dia juga ikut terbakar disana.
Cerita kedua:
tentang seorang muda-mudi yang ingin kawin lari.
Cerita seorang muda-mudi (Nicholas Saputra dan Revalina S.
Temat) ingin menikah diam-diam. Ketika mereka sampe KUA, mereka nggak bisa
langsung menikah karena surat kesahannya nggak lengkap. Si cowok mengusulkan
untuk menempuh jalan pintas, dengan pake calo supaya mereka menjadi sah sebagai
suami-istri. namun cewek itu nggak mau karena itu termasuk salah satu tindak
yang dekat dengan korupsi yaitu nepotisme, dan dia sangat anti yang namanya korupsi,
karena Ayahnya adalah seorang pegawai negeri yang sempat melakukan korupsi
sertifikasi guru. Salah seorang guru yang ditangani sertifikasi oleh Ayah cewek
tersebut adalah guru sekolahnya. Namun guru itu yang masih berstatus sebagai
guru honorer, tidak memberikan ‘uang pelicin’ sehingga dia tidak menjadi guru
tetap dan akhirnya keluar dari sekolah itu dan meninggal dunia.
Guru tersebut, yang diperankan oleh Ringgo, berpesan bahwa
“Kamu adalah cerminan dari rumahmu…”
Jadi kalau kamu sudah melakukan kebohongan di rumah, akan
berdampak pada hal-hal yang lain di sekitarnya.
Cerita ketiga:
tentang seorang pegawai yang akan disuap.
Cerita ini hampir mirip dengan cerita pertama, namun setting
tempatnya berada di Jakarta, dan tokoh utamanya adalah seorang perempuan.
Seperti cerita pertama, seperti ada seorang developer yang ingin melakukan
kerjasama dengan perusahaan tempat perempuan itu bekerja, dan akan ada
timbal-balik uang kalau proyek itu berhasil.
Namun, sebelum perempuan itu mengiyakan, dia teringat
tentang masa lalunya, tentang Ayahnya, yang seorang pegawai yang jujur. Di
cerita ini kita kembali dibawa ke taun 80/90-an di era zaman Soeharto dan
semuanya serba terbatas. Saat itu, sedang terjadi krisis beras, dan ada seorang
pengulak yang ingin menimbun beras di gudang milik ayah si perempuan.
Sang Ayah menolak mesti diiming-imingi uang banyak, karena
dia konsisten dengan kerjanya. Padahal kondisi kehidupan mereka juga sedang
pas-pasan.
Kembali ke masa sekarang, di akhir cerita si perempuan
mengatakan, “Maaf saya tidak bisa.”
Cerita keempat:
tentang Anak SMA
Dari keempat cerita di film ini, cerita keempat adalah
cerita yang paling segar sekali karena selain bercerita tentang kehidupan SMA,
cerita ini dekat sekali dengan kisah saya semasa SMA. Hahaha…
Cerita utama terletak pada Olla yang sedang direkam
kegiatannya oleh Gita yang baru membeli handycam baru. Ketika di kantin Olla
bertemu dengan Echi yang sepertinya bendahara kelas yang sedang mengumpulkan
uang buku yang dijual oleh salah satu guru. Lalu dari situ, tersebar bahwa ada
korupsi di lingkungan sekolah antara oknum guru tersebut, Echi dan juga Olla.
Ini cerita yang bisa membuat saya tertawa, karena memang pas dan nyata sekali.
Bagi yang pernah menonton Jakarta Magrib, tentu tidak akan
merasa asing dengan konsep cerita yang berbeda dalam satu film. Namun
perbedaannya, di film ini tidak ada kaitan antara cerita yang satu dengan
cerita yang lain seperti Jakarta Magrib.
Kalau dari skala 1-5, saya memberikan nilai 4.5 karena meski
ceritanya bagus tapi cenderung masih terlihat mentah, dan terlalu terburu-buru.
Dari film ini, saya dapat menarik pelajaran bahwa korupsi adalah sesuatu yang
dekat dengan kita seperti hidung dan mulut, atau nadi dengan jantung. Dan sadar
ataupun tidak sadar, kita juga sering melakukannya. Coba siapa yang sering
naikin uang buku pas sekolah dulu?! Ayo ngaku…
Saya harap banyak menonton film ini, terutama para pejabat
yang berdasi dan berjas itu, supaya mereka sadar bahwa korupsi adalah perbuatan
yang tercela sekali.
Ada satu kata-kata yang masih saya ingat sampai sekarang,
“Sesuatu yang besar berawal dari sesuatu yang kecil…"
Sumber: Briliaz
0 komentar:
Posting Komentar