Oleh: Teten Masduki, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
Hampir di mana saja, di negara maju atau berkembang, sistem demokrasi
dikuasai segelintir elite. Namun, hebatnya, elite di Tanah Air tidak hanya
menguasai jaringan politik, ekonomi, atau birokrasi,tetapi
juga hukum sehingga bukanlah perkara mudah menyeret elite busuk ke pengadilan.
Realitas ini sangat terasa dalam mengadili kasus-kasus korupsi yang melibatkan
nama besar.
Di sini hukum hanya efektif untuk orang kecil, tetapi loyo terhadap penguasa
dan orang kaya. Di luar sana, sebut saja di Korea Selatan, hukum tetap bisa
tegak berwibawa menghadapi konglomerat besar kotor, bahkan terhadap dua mantan presiden Korea Selatan—Chun Do-wan dan Roh
Tae-woo—meskipun kemudian ada mekanisme politik untuk memberi pengampunan
kepada mereka.
Di Amerika Serikat, hukum tampil relatif meyakinkan dalam mengadili
megaskandal Enron yang melibatkan seorang senator atau dalam kasus megaskandal
investasi Bernard Madoff yang menggegerkan bisnis keuangan dunia.
Dalam kasus Nazaruddin yang tengah diadili di pengadilan tindak pidana korupsi:
susah alang kepalang mengadili sejumlah nama besar politisi yang sudah disebut
di media dan di sidang pengadilan. Bahkan, belakangan disebutkan ada indikasi
rencana pembunuhan terhadap Mindo Rosalina Manulang, tersangka sekaligus
pengungkap pelaku kejahatan yang sudah mendapat perlindungan LPSK.
Hingga saat ini, sejumlah nama yang sebagian sudah disebut-sebut dalam
kesaksian di pengadilan, seperti Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, inisial
”apel malang”, masih merupakan tokoh fiksi dalam kisah telenovela kasus
Nazaruddin.
Kita tahu berkali-kali Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kewenangannya
yang besar pun terpaksa harus menerapkan strategi makan bubur panas untuk
membongkar kasus megakorupsi yang melibatkan sejumlah orang besar dengan mulai
mengadili pelaku-pelaku kecil di tingkat operator. Sebut saja dalam kasus cek
perjalanan, kasus dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia Bank Indonesia,
atau Bank Century.
Jalan Pintas
Ihwal bagaimana pembentukan elite mutakhir sangat menarik dipelajari lebih
lanjut. Namun, sepintas lalu, partai politik dan DPR belakangan ini adalah
salah satu jalan pintas untuk menyulap orang-orang biasa menjadi elite yang
mahaperkasa. Aktivis sosial, guru ngaji, dan preman pasar jadi politisi, atau
rekanan bisnis pemerintah daerah menjadi kepala daerah adalah berkat demokrasi.
Bisnis Nazaruddin, sekadar contoh, diberitakan seketika melambung luar biasa
setelah Nazaruddin menjadi Bendahara Umum Partai Demokrat. Dan sekarang, banyak
kontrak pemerintah di pusat dan daerah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan
relatif baru, seperti dalam kasus Nazaruddin, yang tak dikenal selama ini.
Ribuan kuasa pertambangan batubara jatuh ke tangan pengusaha yang berkantor di
ruko, selain pemain lama.
Politisi yang membangun karier dari aktivisme politik lewat organisasi
massa, keagamaan, atau jenjang kepengurusan partai kelihatan mulai tersingkir
oleh mereka yang menguasai jaringan sumber daya ekonomi. Maka, tidaklah
mengherankan jika banyak pengusaha yang memimpin partai politik akan membawa
gerbong besar untuk menjamin kepentingan bisnis mereka.
Era partai massa memang sudah berakhir. Bukan kekuatan ideologi lagi yang
menggerakkan dinamika politik sekarang ini, melainkan semata-mata uang. Rakyat
biasa pun sudah tak lagi mau mengijonkan hak pilih mereka pada saat pemilu.
Entah karena sudah lama mereka dibohongi politisi, mereka lebih senang mendapat
pemberian langsung daripada dijanjikan dengan kebijakan publik yang baik.
Ketika kekuasaan ekonomi dan politik bersatu dalam satu tangan, sudah bisa
dibayangkan di tengah alpanya aturan tentang konflik kepentingan,
kebijakan-kebijakan publik akan berhadap-hadapan dengan kepentingan rakyat
banyak.
Dengan adanya untung besar bagi penguasa seperti sekarang ini, kehadiran
negara predator seperti diteorikan sosiolog masyhur Peter B Evans (1994) akan
semakin nyata. Karakteristiknya mulai makin jelas: para elite penguasa
menikmati paling banyak surplus ekonomi nasional dan mereka semakin
terang-terangan tanpa malu-malu menjarah ekonomi kita dan mengabaikan kepentingan
umum.
Memutus Sumber Logistik
Dalam memerangi oligarki elite predator, tidak ada jalan lain selain memutus
sumber logistik dan pendukung mereka. Juga membongkar praktik-praktik operasi
bisnis kotor mereka. Di sinilah penguatan KPK menjadi sangat penting, termasuk
mensterilkan KPK dari aparat hukum konvensional yang sudah menjadi bagian dari
rezim korupsi.
Dalam konteks ini bisa dipahami upaya sistematis untuk melemahkan KPK dan
pengadilan tipikor terus hidup dari kalangan elite yang kepentingannya
terganggu. Tidak mustahil pada masa yang akan datang, upaya kooptasi kekuatan
politik terhadap Komisi Pemilihan Umum dan Mahkamah Konstitusi akan semakin
kuat.
Dalam konteks inilah, gerakan sosial antikorupsi tidak bisa lagi sekadar
jadi komentator pada media umum, tetapi harus betul-betul membangun fondasi
gerakan yang kuat dalam masyarakat. Untuk melakukan perubahan besar, memang
gerakan sosial saja tidak cukup. Namun, transformasi gerakan sosial ke politik
yang sejak reformasi mewacana di kalangan organisasi non-pemerintah barangkali
jangan ditafsirkan secara linier untuk menaiki tangga kekuasaan politik.
Mengapa? Karena terbukti selama ini, meskipun tak semua, ketika orang biasa
menduduki kekuasaan, sering kali tali mandatnya putus dan terjadilah pengkhianatan
terhadap nilai ideal atau kelompok rakyat jelata yang disuarakannya selama
berada di luar lingkaran kekuasaan.
Membetot kekuasaan politik dan ekonomi dari puncak dan mendistribusikannya
kepada orang-orang biasa barangkali lebih menjanjikan keadilan secara
sistematis ketimbang ramai-ramai berlomba memanjat tangga kekuasaan yang
biayanya kian hari kian mahal.
Sumber: Kompas Cetak
0 komentar:
Posting Komentar