Kamis, 05 April 2012

Mengadili Elite Predator

Oleh: Teten Masduki, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia


Hampir di mana saja, di negara maju atau berkembang, sistem demokrasi dikuasai segelintir elite. Namun, hebatnya, elite di Tanah Air tidak hanya menguasai jaringan politik, ekonomi, atau birokrasi,tetapi juga hukum sehingga bukanlah perkara mudah menyeret elite busuk ke pengadilan. Realitas ini sangat terasa dalam mengadili kasus-kasus korupsi yang melibatkan nama besar.

Di sini hukum hanya efektif untuk orang kecil, tetapi loyo terhadap penguasa dan orang kaya. Di luar sana, sebut saja di Korea Selatan, hukum tetap bisa tegak berwibawa menghadapi konglomerat besar kotor, bahkan terhadap dua mantan presiden Korea Selatan—Chun Do-wan dan Roh Tae-woo—meskipun kemudian ada mekanisme politik untuk memberi pengampunan kepada mereka.

Di Amerika Serikat, hukum tampil relatif meyakinkan dalam mengadili megaskandal Enron yang melibatkan seorang senator atau dalam kasus megaskandal investasi Bernard Madoff yang menggegerkan bisnis keuangan dunia.

Dalam kasus Nazaruddin yang tengah diadili di pengadilan tindak pidana korupsi: susah alang kepalang mengadili sejumlah nama besar politisi yang sudah disebut di media dan di sidang pengadilan. Bahkan, belakangan disebutkan ada indikasi rencana pembunuhan terhadap Mindo Rosalina Manulang, tersangka sekaligus pengungkap pelaku kejahatan yang sudah mendapat perlindungan LPSK.

Hingga saat ini, sejumlah nama yang sebagian sudah disebut-sebut dalam kesaksian di pengadilan, seperti Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, inisial ”apel malang”, masih merupakan tokoh fiksi dalam kisah telenovela kasus Nazaruddin.

Kita tahu berkali-kali Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kewenangannya yang besar pun terpaksa harus menerapkan strategi makan bubur panas untuk membongkar kasus megakorupsi yang melibatkan sejumlah orang besar dengan mulai mengadili pelaku-pelaku kecil di tingkat operator. Sebut saja dalam kasus cek perjalanan, kasus dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia Bank Indonesia, atau Bank Century.
  
Jalan Pintas

Ihwal bagaimana pembentukan elite mutakhir sangat menarik dipelajari lebih lanjut. Namun, sepintas lalu, partai politik dan DPR belakangan ini adalah salah satu jalan pintas untuk menyulap orang-orang biasa menjadi elite yang mahaperkasa. Aktivis sosial, guru ngaji, dan preman pasar jadi politisi, atau rekanan bisnis pemerintah daerah menjadi kepala daerah adalah berkat demokrasi.

Bisnis Nazaruddin, sekadar contoh, diberitakan seketika melambung luar biasa setelah Nazaruddin menjadi Bendahara Umum Partai Demokrat. Dan sekarang, banyak kontrak pemerintah di pusat dan daerah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan relatif baru, seperti dalam kasus Nazaruddin, yang tak dikenal selama ini. Ribuan kuasa pertambangan batubara jatuh ke tangan pengusaha yang berkantor di ruko, selain pemain lama.

Politisi yang membangun karier dari aktivisme politik lewat organisasi massa, keagamaan, atau jenjang kepengurusan partai kelihatan mulai tersingkir oleh mereka yang menguasai jaringan sumber daya ekonomi. Maka, tidaklah mengherankan jika banyak pengusaha yang memimpin partai politik akan membawa gerbong besar untuk menjamin kepentingan bisnis mereka.

Era partai massa memang sudah berakhir. Bukan kekuatan ideologi lagi yang menggerakkan dinamika politik sekarang ini, melainkan semata-mata uang. Rakyat biasa pun sudah tak lagi mau mengijonkan hak pilih mereka pada saat pemilu. Entah karena sudah lama mereka dibohongi politisi, mereka lebih senang mendapat pemberian langsung daripada dijanjikan dengan kebijakan publik yang baik.

Ketika kekuasaan ekonomi dan politik bersatu dalam satu tangan, sudah bisa dibayangkan di tengah alpanya aturan tentang konflik kepentingan, kebijakan-kebijakan publik akan berhadap-hadapan dengan kepentingan rakyat banyak.

Dengan adanya untung besar bagi penguasa seperti sekarang ini, kehadiran negara predator seperti diteorikan sosiolog masyhur Peter B Evans (1994) akan semakin nyata. Karakteristiknya mulai makin jelas: para elite penguasa menikmati paling banyak surplus ekonomi nasional dan mereka semakin terang-terangan tanpa malu-malu menjarah ekonomi kita dan mengabaikan kepentingan umum.

Memutus Sumber Logistik

Dalam memerangi oligarki elite predator, tidak ada jalan lain selain memutus sumber logistik dan pendukung mereka. Juga membongkar praktik-praktik operasi bisnis kotor mereka. Di sinilah penguatan KPK menjadi sangat penting, termasuk mensterilkan KPK dari aparat hukum konvensional yang sudah menjadi bagian dari rezim korupsi.

Dalam konteks ini bisa dipahami upaya sistematis untuk melemahkan KPK dan pengadilan tipikor terus hidup dari kalangan elite yang kepentingannya terganggu. Tidak mustahil pada masa yang akan datang, upaya kooptasi kekuatan politik terhadap Komisi Pemilihan Umum dan Mahkamah Konstitusi akan semakin kuat.

Dalam konteks inilah, gerakan sosial antikorupsi tidak bisa lagi sekadar jadi komentator pada media umum, tetapi harus betul-betul membangun fondasi gerakan yang kuat dalam masyarakat. Untuk melakukan perubahan besar, memang gerakan sosial saja tidak cukup. Namun, transformasi gerakan sosial ke politik yang sejak reformasi mewacana di kalangan organisasi non-pemerintah barangkali jangan ditafsirkan secara linier untuk menaiki tangga kekuasaan politik.

Mengapa? Karena terbukti selama ini, meskipun tak semua, ketika orang biasa menduduki kekuasaan, sering kali tali mandatnya putus dan terjadilah pengkhianatan terhadap nilai ideal atau kelompok rakyat jelata yang disuarakannya selama berada di luar lingkaran kekuasaan.

Membetot kekuasaan politik dan ekonomi dari puncak dan mendistribusikannya kepada orang-orang biasa barangkali lebih menjanjikan keadilan secara sistematis ketimbang ramai-ramai berlomba memanjat tangga kekuasaan yang biayanya kian hari kian mahal.

Sumber: Kompas Cetak

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kita vs Korupsi Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger