Selasa, 17 April 2012

Kita Versus Korupsi


Oleh: Haneda Sri Lastoto, Kepala Perwakilan Ombudsman Jawa Barat & Anggota Fordiskum Bandung


“Kita Versus Korupsi” adalah judul film yang diprakarsai oleh USAID, Komisi Pemberantasan Korupsi, Transparency International untuk Indonesia, dan Management Systems International yang sempat diputar di BIP Bandung. Film yang berdurasi sekitar 70 menit tersebut menampilkan 4 cerita yang berbeda mulai dari peranan seorang kepala desa, kepala sekolah, kepala gudang, dan guru sekolah. Cukup bagus, menarik serta jelas pesan yang disampaikan dalam film tersebut. Hampir tiga perempat kursi dalam gedung terisi oleh penonton hingga akhir acara.


Di tengah-tengah situasi global yang sudah begitu maju budaya dan teknologinya termasuk dampak yang terjadi, pincangnya pertumbuhan-pertumbuhan negara kaya dan negara miskin, isu korupsi masih menjadi persoalan tersendiri di negeri ini. Entah sampai kapan praktik koruptif ini bisa diminimalisasi atau bahkan hilang dari negeri yang religius ini. Sampai-sampai Acil Bimbo pada saat melantunkan lagu “Jual Beli” pun salah satu liriknya begitu menakutkan akibat perilaku koruptif, harga diri kita pun sudah tidak ada.

Menonton tayangan film “Kita Versus Korupsi”, bila diperhatikan kejadian-kejadian dalam film tersebut, tindak pidana korupsinya digolongkan kategori suap-menyuap. Dalam film tersebut, tokoh-tokohnya melibatkan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Mulai dari kepala desa, kepala sekolah, kepala gudang, dan guru sekolah serta masyarakat biasa.

Antikorupsi

Kita tentu sudah sepakat bahwa agar kehidupan berjalan secara baik, teratur, dan saling menghargai satu sama lain, diperlukan suatu pemerintahan untuk mengatur segala sesuatunya, terutuma hal-hal yang menyangkut tentang penegakan hukum untuk kepentingan masyarakat. Mandat sudah kita berikan sepenuhnya kepada pemerintah untuk mengatur hal tersebut dan pemerintah melalui ketentuan yang dibuatnya mengatur segala sesuatunya agar berjalan sebagaimana mestinya. Untuk dapat menjalankan ketentuan yang telah dibuat, pemerintah juga telah dibekali sejumlah aparat negara (state apparatus) yang disebut sebagai aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, pengadilan dan aparat negara lain yang mendukung sehingga terwujudnya negara hukum yang adil dan demokratis.

Namun, apabila melihat fakta tentang penegakan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi, masih belum tercapai antara harapan dan kenyataan. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai garda depan yang diharapkan melalukan pemberantasan korupsi justru dikorup oleh aktor-aktor “liar” di luar pemerintah baik sebagai pelaku korupsi maupun bukan dengan berbagai cara agar semakin tidak berdaya. Lantas kemudian aktor-aktor “liar” di luar pemerintah itulah yang mengatur dan menerima manfaat secara pribadi dan organisasi sehingga merugikan masyarakat. 

Gerakan sosial antikorupsi sudah dilakukan oleh Teten Masduki dengan ICW-nya pertama kali pada 1998 dengan mengajak masyarakat sebagai korban langsung akibat ulah koruptor. Tidak mungkin mampu membasmi korupsi tanpa melibatkan masyarakat walau sekecil apapun andilnya. Bagaimana kita mampu memberantas korupsi kalau kita sendiri terlibat langsung sebagai pelaku. Mengurus perizinan sudah ada aturan dan mekanismenya, tetapi karena ada penyelenggara negara yang melakukan abuse of power sehingga menjadi lama izin diperoleh. Pada saat itulah masyarakat harus berani mengatakan akan melaporkan perilaku penyelenggara negara tersebut bukan justru kemudian menyuap aparat agar lancar.

Perilaku aparat penyelenggara yang gemar melakukan penyalahgunaan wewenang (maladministrasi) adalah berbicara soal struktur. Karena didalamnya menyangkut soal kewenangan dan kekuasaan. Namun, hal lainnya yang juga sangat penting adalah soal kultur. Jangan-jangan problem pada kultur menimbulkan peluang penyerobotan pada struktur. Yang dimaksudkan di sini, kultur kita untuk tertib, teratur, dan berbudaya dalam tata kehidupan publik yang masih lemah, sehingga dengan kultur yang buruk seperti itu memberi peluang penyimpangan pada struktur.

Kultur adalah hal-hal yang menyangkut kebiasaan dan pola-pola kehidupan yang kita jalani. Kita lihat soal parkir, kebiasaan untuk parkir pada tempat yang disediakan juga belum menjadi kultur. Parkir dilakukan di sembarang tempat, bahkan di tempat yang jelas dilarang untuk parkir sekalipun. Ruang publik seperti jalan atau trotoar sering dipakai sebagai lahan parkir dan sangat menganggu kepentingan publik.

Lantas yang manakah yang menjadi hulu, dan manakah yang menjadi hilir, strukturkah memengaruhi kultur atau kultur memengaruhi sruktur? Tentu tidak ada yang menjadi hulu dan tidak ada yang menjadi hilir, keduanya saling memengaruhi, dan karena itu mesti dilakukan pemberantasan pembenahan diantara keduanya. Struktur harus ditata, dan bersamaan dengan itu kultur juga harus diciptakan melalui suatu rekayasa budaya.

Artinya, bila ingin membenahi praktik koruptif hilang di negeri ini, film “Kita Versus Korupsi” memberi contoh, seorang kepala gudang yang menolak disuap, seorang gadis yang ingin menikah tidak mau calon suaminya menyuap petugas KUA. Hal lain yang tidak kalah penting dalam pemutaran film itu, panitia memberikan lembaran untuk diisi oleh hadirin yang menyaksikan pemutaran film sebagai ikrar yang dinyatakan oleh penonton dengan tanda tangan dan nama lengkap tidak akan melakukan korupsi, suap-menyuap, dan lain sebagainya sebagai bentuk gerakan sosial anti korupsi. Pertanyaannya adalah berapa orang yang mengisi dan kemudian mengembalikan lembaran tersebut kepada panitia?




0 komentar:

Posting Komentar

 

Kita vs Korupsi Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger