Papan bertuliskan “Plagiasi = Korupsi” itu sudah terpampang
di dekat pintu masuk gedung Perpustakaan Universitas Muhammdiyah Surakarta (UMS)
sejak beberapa bulan lalu. Korupsi, kata itu memang sudah begitu populer di
mata mahasiswa di manapun sebagai perbuatan yang buruk. Di sini, kata itu
dipakai dengan harapan agar mereka yang berniat menjiplak karya ilmiah orang
lain akan berpikir dua kali sebelum melakukannya.
Tujuannya kampanye itu sudah jelas, yaitu untuk mencegah
perbuatan tidak terpuji dalam dunia akademik. Ibarat tak ada asap jika tak ada
api, ada latar belakang di balik kampanye itu. Para mahasiswa pun mengakui
bahwa budaya plagiasi dan turunannya seperti menyontek atau membeli karya orang
lain masih ada di sekitar mereka.
“Misalnya di tempat saya ada tugas desain. Ada mahasiswa
yang rela membayar sejumlah uang agar tugasnya bisa cepat selesai,” ungkap
Nanto, salah seorang mahasiswa Teknik Mesin UMS akhir pekan lalu.
Itu baru salah satu contoh dari berbagai model “korupsi” ala
mahasiswa di dalam kampus. Ada berbagai macam cara instan yang bisa dilakukan
demi mendapatkan nilai bagus termasuk cara yang paling sederhana, yaitu
menyontek saat ujian.
“Kalau menyontek itu masih banyak, belum lama ini di
Facebook sempat ramai ada mahasiswa yang ketahuan tertangkap nyontek saat
ujian,” kata Nuryanto, mahasiswa Teknik Elektro UMS. Padahal, lanjutnya, kalau sudah
beberapa kali tertangkap hukumannya bisa drop out alias DO.
Pihak kampus memang terus berusaha melakukan berbagai upaya
untuk mencegahnya. Mulai dari pengawasan dalam ujian sampai publikasi judul
skripsi secara online. Meskipun ada hukuman berat jika ketahuan, ada saja usaha
yang dilakukan agar bisa melakukan praktik-praktik tersebut. Apalagi jika ada
fasilitas atau orang yang bisa membantu menggarap berbagai tugas kuliah atau
skripsi. Di sekitar kampus, masih ada orang yang menawarkan jasa pembuatan
skripsi dengan biaya tertentu.
Memang ada saja mahasiswa yang masih membutuhkan jasa ini.
Bahkan mereka akan mencari-cari orang yang mau mengerjakan skripsi atau tugas
karena kebanyakan jasa ini hanya diketahui dari mulut ke mulut. Ada banyak
tugas yang bisa diproyekkan di luar skripsi, mulai tugas membuat paper, makalah
atau laporan praktikum. “Pernah ada teman saya dari fakultas lain yang tanya-tanya,
‘ada enggak yang bisa bantu bikin skripsi?’ saya bilang tidak tahu karena
memang tidak pernah memakainya,” kata Fitri Mukti, mahasiswi Pendidikan Fisika Universitas
Sebelas Maret (UNS).
Menurut Fitri, jasa-jasa pembuatan skripsi itu memang masih
ada di sekitar kampusnya dan masih ada pula yang mencarinya. Tapi memang hanya
orang-orang tertentu saja yang mau menggunakan jasa itu. Selain butuh biaya
mahal, risikonya juga besar jika sampai ketahuan oleh pembimbing atau penguji.
Fitri sendiri enggan melakukannya dan begitu pula dengan rekan-rekannya satu
jurusan.
“Saya sih tidak pernah datang ke sana, tapi di belakang
kampus saya pernah lihat juga ada papan bertuliskan jasa konsultasi skripsi,”
lanjut Fitri yang kini sedang mengerjakan skripsi. “Kalau di jurusan saya, saya
yakin tidak ada yang melakukannya.”
Masih
Ada yang Idealis
Memang tak semua mahasiswa mau melakukan hal-hal instan demi
mendapatkan nilai yang bagus. Beberapa mahasiswa dengan tegas menolak
menggunakan tangan orang lain dalam menyelesaikan skripsi atau tugas akhirnya.
Selain karena idealisme, hal ini juga karena aturan ketat dan budaya yang
ditanamkan di lingkungan kampus.
“Saya tidak pernah mau seperti itu, saya juga yakin
teman-teman di FKIP juga tidak ada yang mau melakukannya,” kata Lia Fatmawati, mahasiswa
Pendidikan Bahasa dan Seni (PBS) UNS.
Lia yang baru saja menyelesaikan skripsinya mengatakan para
dosen telah menegaskan agar seluruh proses pembuatan skripsi dilakukan sendiri
sejak awal. Mulai dari pemilihan judul sampai laporan jadi semuanya harus bisa
dipertanggungjawabkan sendiri. “Intinya kita harus bisa mempertanggungjawabkan
tugas kita sendiri.” Lanjut mahasiswi angkatan 2008 ini. “Saat pendadaran pun
tidak ada kebiasaan ngasih sesuatu buat pembimbing atau penguji.”
Di luar kampus, tidak semua pemilik jasa pengetikan atau
rental komputer mau menerima permintaan pengerjaan tugas atau skripsi. Selain
risikonya yang cukup besar, hal itu juga bisa mencoreng nama pemilik usaha.
“Sering ada mahasiswa yang datang ke sini minta bantuan
mengerjakan tugas, tapi saya tidak mau kalau sampai mengerjakan laporannya.
Kalau cuma olah data SPSS sih tidak masalah, tapi kalau sampai minta
dibikinkan, lebih baik saya kasih tau caranya saja,” kata Lilik, seorang
pemilik jasa studio dan desain di belakang Kampus I UMS.
Ia mengaku heran, mahasiswa sekarang banyak yang sudah punya
laptop sendiri, tapi jasa pengetikan masih saja ramai.
Jadi, bagaimana menurut Anda?
Sumber: Solopos
0 komentar:
Posting Komentar