Sabtu, 28 April 2012

Dilema Anak Muda di Tengah Wabah Korupsi




Papan bertuliskan “Plagiasi = Korupsi” itu sudah terpampang di dekat pintu masuk gedung Perpustakaan Universitas Muhammdiyah Surakarta (UMS) sejak beberapa bulan lalu. Korupsi, kata itu memang sudah begitu populer di mata mahasiswa di manapun sebagai perbuatan yang buruk. Di sini, kata itu dipakai dengan harapan agar mereka yang berniat menjiplak karya ilmiah orang lain akan berpikir dua kali sebelum melakukannya.

Tujuannya kampanye itu sudah jelas, yaitu untuk mencegah perbuatan tidak terpuji dalam dunia akademik. Ibarat tak ada asap jika tak ada api, ada latar belakang di balik kampanye itu. Para mahasiswa pun mengakui bahwa budaya plagiasi dan turunannya seperti menyontek atau membeli karya orang lain masih ada di sekitar mereka.

“Misalnya di tempat saya ada tugas desain. Ada mahasiswa yang rela membayar sejumlah uang agar tugasnya bisa cepat selesai,” ungkap Nanto, salah seorang mahasiswa Teknik Mesin UMS akhir pekan lalu.

Itu baru salah satu contoh dari berbagai model “korupsi” ala mahasiswa di dalam kampus. Ada berbagai macam cara instan yang bisa dilakukan demi mendapatkan nilai bagus termasuk cara yang paling sederhana, yaitu menyontek saat ujian.

“Kalau menyontek itu masih banyak, belum lama ini di Facebook sempat ramai ada mahasiswa yang ketahuan tertangkap nyontek saat ujian,” kata Nuryanto, mahasiswa Teknik Elektro UMS. Padahal, lanjutnya, kalau sudah beberapa kali tertangkap hukumannya bisa drop out alias DO.

Pihak kampus memang terus berusaha melakukan berbagai upaya untuk mencegahnya. Mulai dari pengawasan dalam ujian sampai publikasi judul skripsi secara online. Meskipun ada hukuman berat jika ketahuan, ada saja usaha yang dilakukan agar bisa melakukan praktik-praktik tersebut. Apalagi jika ada fasilitas atau orang yang bisa membantu menggarap berbagai tugas kuliah atau skripsi. Di sekitar kampus, masih ada orang yang menawarkan jasa pembuatan skripsi dengan biaya tertentu.

Memang ada saja mahasiswa yang masih membutuhkan jasa ini. Bahkan mereka akan mencari-cari orang yang mau mengerjakan skripsi atau tugas karena kebanyakan jasa ini hanya diketahui dari mulut ke mulut. Ada banyak tugas yang bisa diproyekkan di luar skripsi, mulai tugas membuat paper, makalah atau laporan praktikum. “Pernah ada teman saya dari fakultas lain yang tanya-tanya, ‘ada enggak yang bisa bantu bikin skripsi?’ saya bilang tidak tahu karena memang tidak pernah memakainya,” kata Fitri Mukti, mahasiswi Pendidikan Fisika Universitas Sebelas Maret (UNS).

Menurut Fitri, jasa-jasa pembuatan skripsi itu memang masih ada di sekitar kampusnya dan masih ada pula yang mencarinya. Tapi memang hanya orang-orang tertentu saja yang mau menggunakan jasa itu. Selain butuh biaya mahal, risikonya juga besar jika sampai ketahuan oleh pembimbing atau penguji. Fitri sendiri enggan melakukannya dan begitu pula dengan rekan-rekannya satu jurusan.

“Saya sih tidak pernah datang ke sana, tapi di belakang kampus saya pernah lihat juga ada papan bertuliskan jasa konsultasi skripsi,” lanjut Fitri yang kini sedang mengerjakan skripsi. “Kalau di jurusan saya, saya yakin tidak ada yang melakukannya.”

Masih Ada yang Idealis

Memang tak semua mahasiswa mau melakukan hal-hal instan demi mendapatkan nilai yang bagus. Beberapa mahasiswa dengan tegas menolak menggunakan tangan orang lain dalam menyelesaikan skripsi atau tugas akhirnya. Selain karena idealisme, hal ini juga karena aturan ketat dan budaya yang ditanamkan di lingkungan kampus.

“Saya tidak pernah mau seperti itu, saya juga yakin teman-teman di FKIP juga tidak ada yang mau melakukannya,” kata Lia Fatmawati, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Seni (PBS) UNS.

Lia yang baru saja menyelesaikan skripsinya mengatakan para dosen telah menegaskan agar seluruh proses pembuatan skripsi dilakukan sendiri sejak awal. Mulai dari pemilihan judul sampai laporan jadi semuanya harus bisa dipertanggungjawabkan sendiri. “Intinya kita harus bisa mempertanggungjawabkan tugas kita sendiri.” Lanjut mahasiswi angkatan 2008 ini. “Saat pendadaran pun tidak ada kebiasaan ngasih sesuatu buat pembimbing atau penguji.”

Di luar kampus, tidak semua pemilik jasa pengetikan atau rental komputer mau menerima permintaan pengerjaan tugas atau skripsi. Selain risikonya yang cukup besar, hal itu juga bisa mencoreng nama pemilik usaha.

“Sering ada mahasiswa yang datang ke sini minta bantuan mengerjakan tugas, tapi saya tidak mau kalau sampai mengerjakan laporannya. Kalau cuma olah data SPSS sih tidak masalah, tapi kalau sampai minta dibikinkan, lebih baik saya kasih tau caranya saja,” kata Lilik, seorang pemilik jasa studio dan desain di belakang Kampus I UMS.

Ia mengaku heran, mahasiswa sekarang banyak yang sudah punya laptop sendiri, tapi jasa pengetikan masih saja ramai.

Jadi, bagaimana menurut Anda?

Sumber: Solopos

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kita vs Korupsi Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger