Oleh: Odagoma Rsjr, Mahasiswa Sastra Indonesia FIB UI
Siapa yang menduga di tengah-tengah dunia korupsi yang sedang melakukan
ekspansi dan menancapkan hegemoninya di Indonesia, di antara keraguan
masyarakat yang semakin memuncak terhadap para penegak hukumnya, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) masih bisa menghasilkan propaganda yang segar dan
out of the box. Bersama Transparency International Indonesia, Anti Corruption
Information Centre (ACIC) dan para pekerja film yang peduli akan pemberantasan
korupsi di Indonesia, KPK memproduksi sebuah film berjudul Kita versus Korupsi.
Kita versus Korupsi diproduksi dengan konsep omnibus, konsep yang perkembangannya saat ini sedang menggeliat di dunia film Indonesia. 4 film di dalamnya adalah antologi dari cerita-cerita terbaik sayembara yang diselenggarakan KPK sebelumnya. 4 film pendek dari 4 sutradara dengan 4 cerita yang berbeda. Namun, semuanya berada dalam satu jalinan benang merah yang sama: kita melawan korupsi.
Film pertama adalah “Rumah Perkara”dari Emil Heradi. Bercerita tentang Yatna
(Teuku Rifnu Wikana), seorang lurah yang menjual tanah desanya kepada seorang
pengusaha untuk dijadikan lapangan golf. Penjualan tanah desa tersebut
terhalang oleh Ella (Ranggani Puspandya), seorang janda yang kukuh
mempertahankan tanahnya. Film ini menggambarkan pengaruh korupsi yang sangat
luas sampai ke dalam pedesaan. Film ini juga menggambarkan pemimpin-pemimpin
yang seringkali lupa akan janjinya. Emil dengan sangat baik menggambarkan
pergolakan batin individu-individu yang ada dalam cerita ini secara dramatis
dengan menampilkan semua konflik bersamaan di akhir cerita. Pembakaran rumah
Ella, janji Yatna untuk melindungi desa saat kampanye, kenekatan anak Yatna
masuk ke dalam rumah yang telah terbakar untuk menyelamatkan Ella yang telah
menemaninya bermain, semuanya berkumpul menjadi satu membentuk sebuah akhir
yang dramatis.
Jika film pertama menceritakan kehidupan pedesaan, film kedua berjudul “Aku
Padamu” karya Lasja F. Susanto bercerita tentang kehidupan perkotaan. Gelora
asmara anak muda masa kini yang diwakili oleh Vano (Nicholas Saputra) dan Laras
(Revalina S Termat) tergambar dengan jelas di sini. Vano dan Laras ingin
menikah tanpa sepengetahuan orang tua Laras. Hasilnya, keinginan mereka
terhambat urusan kartu keluarga, dan calo pun menjadi pilihan Vano untuk
mempercepat penyelesaian masalah tersebut. Di sinilah kemudian muncul kekuatan
film ini. Laras ternyata bukanlah sekadar anak muda zaman sekarang yang biasa.
Dalam dirinya tertanam nilai-nilai anti suap yang diwariskan oleh guru
panutannya saat SD (Ringgo Agus Rahman), seorang guru honorer yang rela hidup
susah hingga akhir hidupnya karena tidak mau membayar “uang pelicin” kepada
ayah Laras, sang kepala sekolah. Kedua kontras inilah yang dengan baik
dimainkan oleh Lasja menjadi kekuatan film ini.
Film ketiga,”Selamat Siang, Risa” adalah arahan dari Ine Febriyanti. Film
ketiga ini bercerita tentang seorang penjaga gudang bernama Arwoko (Tora
Sudiro) yang tengah dilanda kesulitan ekonomi pada masa Malari (1974).
Kebimbangan adalah hal yang sangat sering terjadi ketika kita berhadapan dengan
korupsi, begitu pula yang terjadi saat Arwoko menerima tawaran dari seorang
penimbun beras untuk menggunakan gudangnya yang saat itu sedang kosong, apalagi
seluruh teman-teman dan atasannya telah menerima tawaran tersebut. Pergolakan
batin Arwoko tergarap dengan baik dan penuh emosi di sini. Sayangnya, film ini
tidak berhenti pada saat yang tepat. Keputusan melanjutkan cerita setelah
klimaks agaknya menurunkan emosi yang sudah dengan sangat baik dimainkan oleh
Ine.
Film keempat mengangkat sisi yang lebih berwarna. Film berjudul “Psssttt…
Jangan Bilang Siapa-Siapa” ini disutradarai oleh Chairun Nissa. Dengan gaya
mockumentary, film ini dengan sangat natural menangkap kehidupan sehari-hari
siswi SMA masa kini dengan segala kehebohan dan keceriaanya. Dialognya segar,
artistiknya sangat berwarna, keterusterangannya, khas kehidupan SMA.
Berbekal sebuah kamera yang menjadi “mata” film ini, Gita (Alexandra Natasha)
menangkap adanya korupsi yang dilakukan oleh pihak sekolah dengan modus buku
paket yang ternyata pembeliannya berpengaruh kepada nilai siswa sesuai dengan
“baik-buruknya pembelian”. Tak hanya itu, dari obrolan tentang buku paket ini,
terungkap kenyataan-kenyataan korupsi lain yang selama ini sering dilakukan
oleh teman-temannya, Ola (Siska Selvi Dawsen) dan Eci (Nasha Abigail), yang
telah dianggap biasa oleh keduanya. Mockumentary menjadi sangat lancar
bercerita dalam film ini. Dengan jelas tergambar korupsi yang sudah merambah ke
segala lini kehidupan dan dianggap biasa. Bahkan, pembicaraannya dilakukan di
kantin, tempat yang paling ramai di sekolah, tanpa ada reaksi sedikit pun dari
yang berlalu lalang di sekitarnya. Korupsi memang benar-benar telah menjadi
biasa.
Kita versus Korupsi adalah sebuah karya yang patut mendapat apresiasi dari
masyarakat Indonesia. Cerita-cerita yang sehari-hari ada di sekitar kita
berhasil dikemas dengan sangat baik menjadi cerita yang penuh dengan makna luar
biasa. Dengan niatannya untuk menjadi film non-komersil, film ini telah
berhasil menjadi lebih dari sekadarnya. Sinematografi adalah salah satu kekuatan
utamanya. Alam pedesaan yang indah, kehidupan masyarakat pada tahun 1974,
perkotaan, dan warna-warni SMA, semuanya tegambarkan dengan warna-warna yang
mengisi hati. Suasana yang dibangun oleh warna-warna tersebut menjadi dunia
yang tepat bagi pergolakan batin yang ada di dalamnya. Applause khusus untuk
Anggi Frisca, Ical Tanjung, Ipung Rachmat, dan Yunus Patawari yang telah
melukiskan itu semua. Selain itu, emosi yang tertuang dengan baik dalam film
ini tergambar lewat gestur dan ekpresi yang baik pula dari para pemainnya.
Semua itu didukung oleh permainan kamera yang banyak menggunakan gambar close
up dan pergerakannya yang tepat, sesuai dengan apa yang sedang terjadi saat
itu. Sebagai sebuah propaganda anti korupsi pun Kita versus Korupsi tidak
berusaha untuk menceramahi, tetapi bertutur nyata dengan ceritanya. 8 dari 10
bintang dari saya.
Sumber: Kompasiana
0 komentar:
Posting Komentar