Kamis, 12 April 2012

Belum Terlambat Jadikan Indonesia Bersih




Sebanyak 160 mahasiswa nonton bareng (nobar) film Kita versus Korupsi (KvsK) di kampus Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), Rabu (10/5). Pemutaran film KvsK merupakan bagian dari Pekan PNJ Fair 9-13 April 2012. Terdapat tiga kegiatan utama yang dilakukan dalam PNJ Fair, yaitu Job Fair Departemen Pendidikan, Pekan Komunikasi Departemen Kominfo dan Bulan Cerdasku dari Departemen Sosial Politik.

Penonton yang hadir dalam pemutaran tersebut berasal dari berbagai perguruan tinggi seperti LP3I, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan Universitas Gunadarma. Pemutaran film KvsK dimaksudkan agar mahasiswa mampu menjadi generasi muda yang berperilaku bebas korupsi. Selama ini perilaku korupsi seakan dianggap menjadi budaya bangsa. Guna memperbaiki kondisi ini, maka gerakan perlawanan terhadap budaya korupsi harus diperluas kepada publik termasuk generasi muda. “Film KvsK merupakan pendekatan yang dapat diterima berbagai kalangan karena  menggunakan budaya pop berupa film,”kata seorang panitia.

Sepanjang pemutaran, para mahasiswa yang memenuhi salah satu gedung rektorat PNJ kerap bereaksi terhadap beberapa adegan film. Misalnya, suara riuh rendah terdengar ketika  adegan Koh Abeng mencoba menyuap  Arwoko dengan segepok uang.  Atau dalam scene, guru sekolah yang mencontohkan tindakan korupsi karena menjual buku melalui siswanya sendiri dengan iming-iming komisi dan nilai yang bagus di film “Psssttt…. Jangan Bilang Siapa-Siapa”.

Diskusi Film


Pesan moral perlawanan terhadap korupsi ini semakin dipertajam melalui forum diskusi yang menghadirkan Sutradara Film Selamat Siang Rissa Ine Febriyanti, Dotty Rahmatiasih dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Sarwono dari Transparency International Indonesia (TII), Ismi dari Suara Pemuda Anti Korupsi (SPeAK) dan Guru Besar Psikologi Politik UI Prof Dr Hamdi Muluk.



Ine Febriyanti memaparkan bahwa awalnya ia kaget ketika diminta membuat film tentang korupsi. Ia mengaku sudah bosan mendengar berbagai informasi tindakan korupsi yang dilakukan oleh pemimpin atau elit politik negeri ini. Ine teringat kisah yang selalu diceritakan ibunya ketika ia kecil, bagaimana ayahnya menolak suap dari seseorang. Dalam akhir filmnya, simbolisasi korupsi diibaratkan seperti borok yang ada di punggung anak kecil  yang dikerubuti lalat.

Dotty mengingatkan bahwa masyarakat masih belum sadar bahwa korupsi itu bukan hanya tanggung-jawab pemimpin negara melainkan merupakan masalah bersama bangsa ini, termasuk anak muda. “Banyak yang bisa dilakukan generasi muda untuk terlibat dalam gerakan anti korupsi, misalnya membuat pameran foto dengan tema anti korupsi bagi yang hobi photografi,”ujarnya.

Sedangkan, Agus Sarwono dari TII menjelaskan tentang proses produksi film KvsK yang didasarkan pemikiran untuk berkampanye menggunakan alat yang mudah diserap oleh masyarakat, yaitu film. Hal ini karena film dapat menjangkau masyarakat yang hidup di pedalaman yang belum bisa mengakses internet.

Menurut Hamdi Muluk, harus ada strategi yang jelas untuk menangani korupsi karena sudah terjadi secara sistematik, dari hulu ke hilir. Misalnya bisa dilakukan melalui teori penanganan gempa, dimana terdapat epicentrum atau pusat gempa. Pusat korupsi itu terjadi di DPR/MPR maka KPK bertugas menangkap titik pusat korupsi yang terdalam. Sedangkan, masyarakat mengepung efek dari titik gempa korupsi dengan melakukan kegiatan-kegiatan seperti diskusi, kampanye dan sebagainya.

Namun rumah Indonesia terlalu indah untuk dirusak. “Belum terlambat untuk menjadikan Indonesia bersih terlambat, masih banyak yang bisa dilakukan,”tegasnya. (SS/AS)


0 komentar:

Posting Komentar

 

Kita vs Korupsi Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger