Oleh: Alonrider
Pria dengan balon warna-warni itu kini berbaring untuk selamanya. Penyakit kronis merenggut perjuangannya: mendidik para sahabat kecil, murid sekolah dasar. Dari balik pintu kamar yang sederhana, sang murid tergugu. Wajahnya pasi, matanya sembab, sedari tadi linang air mata tak henti menderai.
Di kamar, istri si guru honorer itu meraung. Berkali-kali dia meratap,”Bapak orang baik, bapak orang baik, kenapa?”. Mungkin di alam roh, Markun si guru berhati luas itu, mengelus dada. Masih ingat benar dia cemoohan istrinya, dulu, semasa dia mengajar dan sesekali berdandan badut, berjualan balon dan dongeng suci ke anak-anak.
“Sudahlah pak, jika saja bapak membayar ke pak itu, tentu hidup kita lebih baik. Bapak tak perlu jadi ketawaan orang,” begitu cibiran istrinya, tiap kali dia “ngamen” keliling kampung.
Markun bergeming. Bagi dia, sekolah itu sama seperti dunia ini: fana. Maka sahabat-sahabat kecilnya pun begitu suka ria mendengarkan guru berhati lurus ini mengajar dan mendongeng di luar kelas, dibawah pepohonan. “Ayo anak-anak, bapak sekarang punya kelas yang maha luas dan tembok yang tak terbatas. Atapnya awan, dindingnya pepohonan.”
Kini, sang guru dan badut pendongeng membisu selamanya. Sad ending.
Tapi tunggu dulu. Integritas Markun itu begitu membekas di hati si murid. Kelak, ketika dewasa, dia berani menolak ajakan kekasihnya untuk menyogok petugas KUA yang merayu mereka berdua setengah mati demi surat nikah resmi. Tak kepalang tanggung si oknum KUA mengutip aneka ayat suci demi mendapat recehan dari pasangan dimabuk asmara itu.
Ah, cerita tentang oknum ini-itu begitu gampang dicari di sekeliling kita. Laiknya debu jalanan. Ada dimana-mana. Sementara kisah Pak Guru Markun, itu bagai dongeng. Folklor. Mungkin pernah ada zaman dahulu kala.
***
Ini kisah lainnya. “Folklor” tentang Arwoko, seorang penjaga gudang di tahun 1970an. Untuk menambah pendapatan, istrinya membuka jasa menjahit di rumah. Mereka hidup sederhana. Rupiah lembar demi lembar disimpan dalam kotak kayu.
Sampai cobaan itu tiba. Anak keduanya sakit keras. Seharian rewel dan muntah-muntah. Di rumah sakit, istri Arwoko tertegun. Uang tabungannya tak cukup menebus resep dokter. Hanya separuh obat yang dia bawa. Sementara Risa, anak pertamanya merengek meminta balon.
Beras hanya cukup untuk sehari, sementara sang anak sakitnya tak kunjung sirna. Obat tandas, tak mau menetes dari botol. Sebuah radio tua – yang saban hari menyiarkan propaganda Orde Baru soal swasembada pangan – menjadi satu-satunya benda berharga yang layak jual.
Tapi tidak juga. Arwoko kembali dengan radio di pundak. Matanya melirik wadah beras yang tinggal beberapa butir dan anaknya yang dibungkus kain tebal. Lemas.
Sampai sebuah ketukan di pintu rumah menyadarkannya. Abeng, seorang juragan beras ternama bermaksud meminjam gudang tempat Arwoko bekerja untuk menimbun beras. Abeng berbisik, bahwa dia telah “berkoordinasi” dengan atasan Arwoko, sambil menyodorkan beberapa gepok rupiah.
Ujian yang maha berat. Seolah ada dewa penolong di depan mata ketika kesulitan merundung hidup Arwoko. Istrinya hanya bisa terisak di bilik kamar. Apalagi ketika sang suami menolak “pertolongan” Abeng. Dia peluk anaknya sembari tergagap-gagap ke pintu kamar.
Selangkah sebelum keluar, dia dengar suaminya berkata,”Saya tidak tahu, apa karena kebodohan saya menolak pemberian bapak. Jika saya terima, maka saya gadaikan seluruh hidup saya seterusnya.” Juragan Abeng pun berlalu.
Di kamar, Arwoko meraih si anak dari istrinya. Menciuminya dengan hati, tangis, dan tubuh bergetar. Esok hari, ujian itu punah. Putra keduanya sehat sedia kala. Happy ending. Keteguhan sang ayah, membuat Risa dewasa menolak gratifikasi yang diberikan relasi bisnisnya.
Di masa kini, cerita itu menjadi sumir. Bahwa suatu masa lalu ada orang yang benar-benar lempeng seperti Arwoko.
***
Tentu saja kisah Markun dan Arwoko bagian dari dongeng modern. Sosok Markun muncul dalam film berjudul “Aku Padamu” yang skenarionya ditulis Sinar Ayu Massie dan disutradarai Lasja F. Susatyo. Sedangkan Arwoko mengejawantah melalui arahan sutradara Ine Febriyanti yang menulis skenario “Selamat Siang, Risa!” bersama Gunawan Raharjo.
Bersama dua film lainnya: “Rumah Perkara” dan “Psst…Jangan Bilang Siapa-siapa” merupakan hasil kolaborasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Transparency International Indonesia, Management Systems International, USAID, dan Cangkir Kopi.
Didukung oleh aktor dan aktris ternama seperti Tora Sudiro, Nicholas Saputra, Revalina S. Temat, Ringgo Agus Rahman, Dominique Agisca Diyose, Ine Febriyanti, dan lain-lain.
Berbiaya produksi Rp 1 milyar – terhitung murah untuk produksi empat film, karena para pemain kondang emoh dibayar – film dengan tema “Kita versus Korupsi” (KvK) ini mampu menggedor nurani penonton. Istilah gaul di dunia online yaitu #JLEB.
Bagi saya, dua film yang paling menggranat penonton yaitu “Selamat Siang, Risa!” dan “Aku Padamu”. Dua film lain, cukup bagus, tapi secara keseluruhan masih kurang kuat mengguncang hati pemirsa.
“Rumah Perkara” misalnya, model penggusuran lahan melalui kekerasan rasanya sudah ketinggalan zaman. Seorang rekan, jurnalis senior membisikkan, “Cara halusnya dengan memberangkatkan haji orang sekampung.” Saya tersedak diam-diam. Minuman ringan hampir saja muncrat dari mulut.
Ending “Rumah Perkara” yang ditulis Mohamad Ariansyah dan Damas Cendekia, seakan menegaskan hukum karma dan pepatah “siapa menabur angin, akan menuai badai.” Pak Lurah, antek kapitalis, peselingkuh janda ayu di desanya, harus menerima badai tak terkira. Pungkasan yang gamblang dari sutradara Emil Heradi.
Gaya abege muncul dalam film “Psst…Jangan Bilang Siapa-siapa” yang diarahkan Chairun Nissa dan ditulis Jazzy Mariska Usman. Bercerita soal gaya hidup konsumerisme dan hedonis di kalangan anak sekolah. Mark up uang buku demi ponsel terkini, sampai kolusi dengan guru dan kepala sekolah. Encer. Pas untuk konsumsi remaja.
Pendekatan budaya dalam melawan korupsi ini patut diapresiasi. Pesan yang disampaikan jelas, bahwa pondasi utama moral, nurani, dan integritas itu paling besar ada di keluarga dan pendidik.
Busyro Muqoddas, Ketua KPK dan produser eksekutif KvK, menyebut bahwa korupsi mengalami proses regenerasi. Anak muda mulai tertular korupsi yang mulai dianggap biasa. “Generasi muda perlu dipotek nuraninya melalui keluarga sebagai basis moral,” kata dia sesaat sebelum film diputar perdana untuk umum di Djakarta Theatre XXI, kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis, pekan lalu.
Saya sependapat dengan petinggi KPK itu. Agar karakter yang penuh integritas dan lurus itu tak dianggap mitos dan dongeng purba. Dan saya lihat film ini cocok diputar di ruang keluarga sembari menikmati teh tubruk kampung, kacang rebus, sambil memeluk anak istri. Bagaimana?
Sumber: Alonrider
0 komentar:
Posting Komentar