Korupsi selama ini hanya dipahami sebagai kegagalan pemerintahan (hukum, birokrasi, parlemen, sistem fiskal dan seterusnya), sehingga agenda reformasi selalu diarahkan kepada sisi pemerintahan. Padahal nilai-nilai korupsi juga terus diproduksi oleh masyarakat, baik melalui keluarga dan sekolah, termasuk gaya hidup hedonis di masyarakat.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Transparency International Indonesia (TII), United State Agency International Development (USAID), Management Systems International (MSI) dan Cangkir Kopi menggagas sebuah film berjudul “Kita versus Korupsi” atau KvsK. Film karya empat sineas muda Indonesia bertujuan mengedukasi masyarakat dengan memberikan gambaran risiko jika melakukan tindak pidana korupsi.
“Kami yakin film ini dapat menjadi media kampanye anti korupsi yang kreatif karena lebih menarik dan pesannya lebih mudah dicerna publik,” kata Ketua KPK Abraham Samad di Jakarta beberapa waktu lalu.
Film KvsK ini tidak menyajikan kisah-kisah investigatif dari kasus-kasus mega korupsi di negeri ini. Tetapi ingin mengangkat kondisi sistem nilai yang hidup di kehidupan sehari-hari kita. Di sekolah, dalam keluarga, di tempat kerja, yang membentuk masyarakat yang jujur atau sebaliknya.
Selama nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesederhanaan dan rasa empati terhadap sesama mulai tersingkirkan dalam kehidupan masyarakat kita, berapapun besarnya program antikorupsi tidak akan banyak hasilnya.
Film ini merangkai empat film pendek jadi satu (ominibus.) Masing-masing film menyajikan cerita orang-orang biasa saat berhadapan pada pilihan antara melakukan perbuatan korupsi atau menolaknya. Menjadi cermin bagi penonton untuk melihat potret diri sendiri, lalu mendiskusikannya secara kritis. Sehingga korupsi tidak lagi kita anggap sebagai perilaku yang bisa diterima dan koruptor bisa dimaafkan.
Empat Film Pendek
Film pertama “Rumah Perkara” karya Emil Herasi, dengan latar belakang suasana pinggiran kota, menggambarkan bahaya dari perbuatan pemimpin yang korup. Saat seorang lurah yang mestinya menjadi pelindung warga, malah jadi kaki tangan pengusaha yang menggusur rumah warga untuk sebuah proyek real eastate. Pengkhianatan sang lurah telah menyengsarakan orang banyak. Selain itu, menyuburkan kebohongan dalam hubungan rumah tangga dan membuat anak kehilangan panutan.
Film kedua “Aku Padamu” karya Lasja F. Susatyo menggelitik kita dengan sikap seorang gadis yang tidak bangga menjadi anak seorang koruptor. Sangat kontras dengan fenomena kini kala banyak kaum muda justru gemar memamerkan mobil atau gadget dari orangtua tanpa mengkritisi bagaimana itu diperoleh. Kehadiran figur guru yang sederhana dan jujur, namun sangat peduli dan dekat dengan murid-muridnya begitu membekas di hati sang gadis hingga dewasa. Suplai koruptor hanya mungkin dihambat jika masyarakat mulai berhenti mengidolakan koruptor, sekaligus mencari teladan-teladan di sekitar mereka.
Film ketiga “Selamat Siang, Rissa!” karya Ine Febrianti menggetarkan kita dengan keteguhan keluarga yang menolak sogok, padahal anak mereka sedang sakit keras. Dengan latar belakang tahun 70-an yang kental, sang ayah yang dipercaya menjadi mandor gudang sebuah perusahaan pemerintah, justru mempertanyakan sikap sang pedagang yang menimbun beras saat situasi rakyat sedang kelaparan. Film ini mengajak kita memikirkan sikap-sikap kita yang sering berusaha mengambil untung dalam situasi sulit. Apalagi yang dilakukan dengan menginjak-injak kepentingan orang banyak.
Film keempat “Pssttt…Jangan Bilang Siapa-Siapa” karya Chairun Nissa membidik potret buram dunia pendidikan dan rumah tangga yang telah digerogoti sikap permisif (toleran) terhadap korupsi. Film ini diam-diam menyajikan realitas siswa-siswi yang menjadi korban kepala sekolah dan guru yang mencari untung melalui berjualan buku. Siapapun yang tidak membeli buku yang telah di-mark up itu akan celaka. Kebanyakan siswa tidak menyadari, sementara orang tua juga tidak merasa terganggu. Dengan gaya hidup serba hedonis dan berorientasi materi, mereka sudah idak ambil pusing. Namun tidak demikian dengan seorang siswi yang secara berani, namun santai, coba merekam keganjilan-keganjilan ini dengan menyodorkan pertanyaan,”Menurut kamu, siapa yang salah?”.
Siapapun baik perorangan, lembaga atau kelompok dapat mengorganisir pemutaran Film KvsK. Informasi selengkapnya silahkan baca "Syarat & Ketentuan Pemutaran Film KvsK.” (RSD)
0 komentar:
Posting Komentar