Menyaksikan film Kita versus Korupsi (KvsK) seolah menguak
sebuah fakta bahwa perilaku korupsi telah menjalar ke seluruh lapisan
masyarakat. Tak hanya di kalangan pejabat, peluang untuk korupsi juga terjadi
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari mulai pemuka agama hingga
pelajar/mahasiswa. Demikian terungkap dalam diskusi usai pemutaran film KvsK di
Keuskupan Surabaya, Jalan Polisi Istimewa No. 11, Surabaya, Jumat pekan lalu.
Sebanyak 130 penonton hadir dalam acara yang diselenggarakan
oleh Club Indonesia Bersih dan Gusdurian, sebuah komunitas pecinta Gus Dur
berbasis di Surabaya. Diantaranya dari kalangan pelajar dan mahasiswa, pendeta,
rohaniwan, dan pendidik.
Anggota seminari, Pepi mengaku merasakan ‘tusukan’ film
KvsK. “Tusukannya sangat dalam dan menohok, scene-nya secara implisit sangat
dalam,”ujarnya. Ia mencontohkan di film ketiga berjudul Selamat Siang, Rissa!
pada adegan ketika Pak Woko (diperankan Tora Sudiro) dihadapkan pada situasi sulit,
tetapi bertahan menghadapi cobaan ‘suap’.
“Korupsi itu kita sendiri, tidak usah hiprokit,”kata Pepi.
Nino dari Keluarga Mahasiswa Katholik (KMK) ITATS terkesan
dengan film kedua berjudul “Aku Padamu” karya Lasja F Susatyo. Seorang gadis menolak
‘nyogok’ pegawai KUA (Kantor Urusan Agama) karena mencontoh keteguhan hati dari
sosok guru bernama Pak Markun.
“Semua yang besar berasal dari yang kecil.
Semoga semua keluarga mengindokrin anaknya sejak kecil bahwa korupsi tidak baik
dan dosa,”ucapnya.
Integritas Dalam Keluarga
Romo Vikjen mengamini pendapat Nino. Sebagai seorang pastur,
ia memiliki umat dari berbagai latar profesi seperti pejabat dan polisi. “Saya
mau ngurus KTP sesuai prosedur, ternyata tahu-tahu KTP sudah diantarkan ke
paroki karena ada pegawai yang Katholik. Jadi ini seperti konspirasi, dilakukan
secara bersama-sama,”ungkapnya.
Menurut Vikjen, kiat untuk menghadang korupsi adalah
integritas. “Terima kasih atas pemutaran film ini sehingga saya bisa menggali
bahwa nilai yang kita himpun dari ardas yaitu pendampingan anak dimulai dari
kejujuran,”lanjutnya.
Niko, filsafat-seminari, menyatakan pada intinya korupsi
bisa diatasi dimulai di dalam ranah keluarga, pendidikan, dan media massa.
“Ketiga pilar itu termasuk dalam cakupan ranah politik,”ujarnya. Semua orang
bisa korupsi, dari pemuka agama sampai bajingan, karena dalam korupsi
menawarkan suatu kemudahan atau nilai pragmatis.
“Kita disini diajak melawan korupsi, padahal semua dari kita
berakar dari keluarga dan pendidikan. Integritas berasal dari situ. Mengapa
orang berkorupsi? Karena ada tawaran instan dan kemudahan,”tandasnya.
Sementara itu, Ignatius dari Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik
Indonesia (PMKRI) Surabaya lebih menyorot peran agama dalam pemberantasan
korupsi. “Saat ini, ketika elit kita (aparat penegak hukum) tidak mampu
memberantas korupsi maka peran agama perlu,”jelasnya. (Dwipoto Kusumo/RSD)
0 komentar:
Posting Komentar