Berdasarkan selebaran yang dibagikan dalam acara nonton
bareng film Kita vs Korupsi, film tidak menyajikan kisah-kisah investigatif
dari kasus-kasus mega korupsi yang terjadi di Indonesia. Film mencoba
mengangkat isu korupsi, sebagai bagian dari keseharian kita, justru dari
golongan akar rumput sehingga diharapkan para penonton dapat merasakan
keterikatan dengan wacana yang diapungkannya. Dan setelah menyaksikannya,
menurut saya film ini cukup efektif dalam menyampaikan urgensinya. Namun, lebih
penting lagi, film ternyata tidak meng-anak tirikan kualitas dalam proses
naratifnya.
Kita VS Korupsi
adalah sebuah film dalam konsep omnibus yang terdiri atas empat buah film
pendek dan digarap oleh empat sutradara muda Indonesia. Film merupakan bagian
dari program pencegahan korupsi yang dilakukan oleh Transparency
International Indonesia, sebuah institusi yang memiliki agenda
untuk memerangi korupsi. Film dipilih sebagai sarana penyuluhan karena dianggap
sebagai sebuah seni yang bisa diterima oleh semua kalangan, termasuk keluarga,
yang diharapkan bisa menjdai bahan pembelajaran muasal praktik korupsi lahir.
Menurut hasil survey yang dilakukan Transparency International yang
berbentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dilakukan di Indonesia
pada tahun 2004, kota Medan berada di urutan ketiga sebagai kota paling korup
di Indonesia, setelah Jakarta dan Surabaya. Sebagai seorang warga yang lahir
dan besar di Medan, tentu saja sulit untuk membantah hasil survey tersebut.
Berbagai bentuk korupsi memang dengan mudah kita temukan di sini, mulai dalam
skala kecil sampai besar. Makanya tidak heran jika pihak Transparency International
menempatkan Medan di dalam dafta kota pemutaran film Kita VS Korupsi ini.
Berlokasi di HERMES XXI, pemutaran dilakukan pada jam 10.30
pagi yang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat dan juga wartawan. Dan
berikut catatan kecil saya terhadap film yang ditayangkan.
Rumah Perkara
Rumah Perkara
adalah segmen pembuka untuk Kita VS Korupsi.
Dibintangi oleh Teuku Rifnu Wikana yang berperan sebagai seorang lurah yang
tengah mengalami kekalutan. Hampir semua penduduk desa telah pindah ke lokasi
baru kecuali seorang janda yang bersikeras untuk tetap menempati rumahnya.
Sementara itu pihak developer yang telah membeli lahan desa terus mendesak sang
pak lurah.
Disutradarai oleh Emil Heradi, Rumah Perkara tampaknya
bermain-main dengan konsep semiotika dalam moral kisahnya. Film dibuka dengan
adegan janji semanis madu yang diumbar si lurah pada saat melakukan kampanye.
Namun saat menjabat, ia malah melakukan kesewenang-wenangan menggusur lahan
tempat tinggal penduduk dengan memakai alasan peningkatan kesejahteraan warga.
Padahal motivasi perbuatannya tetaplah untuk kepentingan pribadinya sendiri.
Film juga menunjukkan jika prilaku korupsi adalah sosok yang tak dapat
dipercaya. Bahkan untuk keluarganya sendiri.
Meski kisah kemudian jatuh kedalam tipikal melodramatisasi
klise, namun Emil Heradi cukup mampu membangkitkan emosi yang diperlukan oleh
filmnya. Teuku Rifnu Wikana juga mampu menjaga karakternya tetap berada di
ranah abu-abu. Kita tidak dapat membenarkan perbuatannya, namun perbuatan yang
dilakukannya cukup manusiawi dan masuk akal. Dan layaknya sebuah dongeng dengan
pesan moral, pelajaran yang bisa kita petik adalah, perbuatan jelek akan
menerima karma jelek pula.
Aku Padamu
Sepasang kekasih (diperankan oleh Revalina S. Temat dan
Nicholas Saputra) memutuskan untuk melakukan kawin lari. Namun niat mereka
harus terhambat masalah administrasi di KUA. Sang laki-laki lantas berniat
untuk mencari “jalan tengah” agar urusan bisa cepat selesai. Sialnya, hal
tersebut ditentang habis-habisan oleh sang perempuan. Nilai-nilai kejujuran
yang dulu diperoleh dari salah seorang guru SD-nya (diperankan oleh Ringgo Agus
Rahman) begitu membekas dibenaknya dan menentang segala bentuk korupsi.
Menurut saya, Aku Padamu ini
adalah segmen terbaik di Aku VS Korupsi.
Tidak heran, karena tampuk penyutradaraan berada di tangan Lasja F. Susatyo
yang telah memiliki beberapa film panjang di tangannya. Narasi berjalan dalam
alur bolak-balik, antara masa sekarang dan masa lalu. Untuk kisah yang
berseting di masa sekarang, film mengadopsi konsep komedi romantis dan
mempunyai feel yang terasa sangat urban. Chemistry antara Reva dan Nico
mengalir dengan pas dan memainkan peran mereka dengan baik sekali.
Sementara itu, saat karakter yang diperankan oleh Reva
terkenang akan dedikasi gurunya, tone film
cenderung melembut dan lirih. Ringgo Agus Rahman berhasil menghadirkan karakter
yang penuh dedikasi, integritas namun juga naif. Dan saat film membutuhkan
emosi yang kuat, segmen ini pun dengan tangkas menghadirkannya, sehingga
menimbulkan rasa haru yang pekat. Meski Aku Padamu memiliki
dua gaya yang bertolak belakang, namun sukses memadukan keduanya dan silih berganti
mengaduk emosi kita.
Selamat Siang Rissa
Segmen ketiga, Selamat Siang Rissa,
disutradarai oleh aktris cantik Ine Febriyanti yang membuktikan jika ia pun
memiliki bakat dalam mengarahkan sebuah film. Film berkisah tentang seorang
perempuan muda (Medina Kamil) yang terkenang akan kejujuran sang ayah (Tora
Sudiro) semasa masih bertugas. Berseting di era 70-an, film mencoba
memperlihatkan ketegaran sosok pria di tengah budaya korupsi yang awam di
kalangan rekan kerjanya. Pada suatu hari, anak bungsunya yang masih balita menderita
sakit. Sementara itu dirinya dan juga sang istri (Dominique Diyose) yang
bekerja sebagai penjahit sudah tidak memiliki uang yang cukup. Seorang pedagang
(Verdy Solaiman) kemudian menawarkan segepok uang, asal keinginannya dituruti.
Ine Febriyanti menunjukkan potensi yang besar sebagai
seorang sutradara. Dengan berani ia memilih untuk menghadirkan adegan-adegan
sunyi yang panjang, minim dialog dan penekanan yang berat pada mimik dan
gestur. Meski begitu, film tidak terasa berat, karena ternyata mampu menuturkan
dengan baik emosi karakter-karakternya selain dapat secara lugas menyampaikan
esensi tentang kejujuran di tengah lingkungan yang korup. Warna-warna lembut
serta tata artistik yang cantik dan mendetil menjadi nilai tambah.
Dan film berhasil karena didukung oleh akting watak para
pemainnya. Sungguh menyenangkan melihat Tora Sudiro sukses meminggirkan
tendensi konyolnya dan bertransformasi menjadi sosok dengan sikap yang tegas
namun rapuh. Dominique pun tak kalah dalam menandingi akting Tora. Bersama
mereka mampu mengaduk-aduk emosi kita, menghasilkan film dengan sentuhan emosi
yang lembut dan intim.
Pssttt…Jangan Bilang
Siapa-Siapa!
Segmen terakhir berjudul Pssttt… Jangan Bilang
Siapa-Siapa! dan memilih remaja sebagai sasaran bidiknya.
Dengan menghadirkan warna-warna cerah dan tone yang ceria,
sang sutradara, Chairun Nisa, tampaknya berkeinginan agar para remaja dapat
terhibur dengan jalan ceritanya namun juga mendapatkan pesan yang diusung. Tema
yang diangkat juga jamak terjadi dimana-mana, bahkan mungkin kita juga dulu
pernah melakukannya disaat masih duduk di bangku sekolah.
Tiga orang remaja puteri tengah membahas tentang praktek
pembelian buku pelajaran yang diorganisir oleh salah seorang guru mereka. Dari
situ pembahasan berlanjut kebeberapa hal yang biasa mereka lakukan namun tidak
lain merupakan salah satu perwujudan dari tindakan korupsi, termasuk melakukan mark-up terhadap laporan keuangan.
Kehadiran sosok-sosok remaja puteri yang centil dan tanpa basa-basi memang
menghadirkan kesan yang ringan dan santai, namun film cukup mampu untuk
menyelipkan pesan-pesan khususnya tanpa harus terkesan menggurui.
Penutup
Setiap kisah yang terdapat di dalam film Kita VS Korupsi menyajikan
karakter-karakter orang awam yang harus berhadapan pada pilihan untuk melakukan
korupsi atau tidak. Kisah yang sederhana dan mudah dicerna mampu dengan baik
beperan sebagai cermin bagi kita, para penonton, karena lekatnya kisah-kisah
tersebut dengan keseharian kita.
Meski pada dasarnya omnibus Kita
VS Korupsi merupakan sebuah alat penyuluhan, jangan langsung membayangkan
sebuah tontonan yang monoton dan penuh dengan petuah. Pada beberapa bagian,
menjadi preachy memang sulit untuk
dihindarkan, akan tetapi patut diberi pujian kepada pihak Transparency International yang
mengizinkan para sineas yang terlibat untuk menyajikan film dengan visi kreatif
mereka masing-masing, sehingga, meski masing-masing segmen memiliki durasi
sekitar 15 menit saja, namun dapat tampil dengan kualitas artistik yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Dengan cerita, akting dan penggarapan yang bagus, Kita VS Korupsi tampil stand out diantara banyaknya
omnibus komersil yang banyak beredar akhir-akhir ini.
Sumber: SayaCeritaFilm
0 komentar:
Posting Komentar